Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Kamis, 07 Desember 2017

Jogjaku Sayang, Sawahku Hilang

Dua Bidadariku bersama Mbah Warto
Bagi orang yang pernah tinggal di Jogja, mungkin waktu kuliah, sekolah, tugas kerja, pasti sebagian besar sepakat kalau Jogja itu tempat yang nyaman buat tinggal. Kenyamanan akan lingkungan, fasilitas juga penduduknya. Bahkan ada tagline bagi orang yang lama tidak datang ke Jogja: “Jogja itu ngangenin Dab!” Bagi kamu yang pernah tinggal di Jogja, lokasi mana yang paling ngangenin? Hayo, coba ingat-ingat. Apakah tempat kampus kamu dulu, tempat kos, tempat nongkrong atau lokasi main bareng temen-temenmu? Pastinya, tempat itu membawa kesan dalam, dan membawa rindu melayang ke masa-masa itu. Cie..ciee !

Jogja dengan segala kenyamanannya menarik banyak orang untuk tetap tinggal di sana, meskipun sudah tidak lagi menjalani kuliah atau tugas kerja. Contoh simpelnya ya aku dan keluargaku. Tujuh tahun lalu, setelah menikah dan kemudian lulus dari Kampus Bulaksumur, kami mencoba peruntungan di Ibu Kota. Dasarnya “wong ndeso”, nggak betah tinggal di kota dengan kompleksitas yang sangat tinggi, kamipun memutuskan untuk pulang kembali ke Jogja setelah 3 bulan merantau. Padahal sebenarnya kami bukan orang Jogja asli lho.

Ya, sebagian mengatakan kami bukan pejuang tahan banting, tapi kami melihat dari sisi lain. Hidup tidak sekedar mencari pekerjaan dan ekonomi yang mapan, toh rezeki ada di mana-mana. Kami hanya berpikir, ingin membangun keluarga di tempat yang homey dan dekat dengan keluarga. Ternyata hal semacam itu tidak hanya terjadi dengan kami, banyak teman-teman yang juga mager (malas gerak) dari Jogja. Kondisi tersebut di satu sisi ternyata membawa dampak bagi Jogja, salah satunya di sector property. Kebutuhan tempat tinggal bagi para pendatang semakin besar. Selain itu juga banyak orang berinvestasi di Jogja untuk membangun kos-kosan, rumah kontrakan, bahkan apartemen. Sebegitu banyaknya property yang ditawarkan laris manis di pasaran. Tak ayal, harga tanah di Jogja meroket luar bisa dari waktu ke waktu.

Beberapa tahun yang lalu berusaha mencari sebidang tanah yang strategis, tidak jauh dari kota untuk kami bangun rumah sudah cukup susah. Mencari tanah dengan harga di bawah Rp 500.000/meter sudah susah, dapatnya pasti di pinggiran. Kalau mau yang dekat kota, yang harus merogoh kocek lebih, paling tidak 1-2 juta/m nya. Apalagi sekarang. Ingat sekali beberapa tahun lalu tempat dimana kami saat ini berteduh (Condongcatur, Sleman) lokasinya sudah di pojok, bersebelahan dengan sawah. Tapi hanya dalam hitungan beberapa tahun, sawah yang indah itu, sudah hilang semua, berubah menjadi rumah padat penduduk.  

Kalau menurut info dari REI (Real Estate Indonesia) DIY 2017, kenaikan harga tanah di Jogja mencapai 20% per tahunnya. Kenaikan ini yang dimanfaatkan oleh para pengembang untuk melebarkan sayap bisnis propertinya. Sebagai dampaknya, tanah-tanah pekarangan semakin terbatas, alhasil banyak dilakukan konversi tanah sawah menjadi pekarangan untuk kemudian dibangun perumahan. Sebagai contoh, Kabupaten Sleman dulunya terkenal sebagai lumbung padi di Jogja, tetapi sekarang sudah banyak sawah-sawah terkikis habis. Sebenarnya Pemda Sleman sudah mengendalikan pengeringan sawah ke pekarang melalui pengurusan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT), tetapi masih belum maksimal. 

Praktik di lapangan, para pemilik sawah dihadapkan dengan intensitas penawaran yang tinggi dan beragam dari para pengembang untuk menjual tanah sawahnya. Di dekat rumah ku misalnya, semakin sedikit ditemui adanya sawah. Kalau toh ada tanah berupa sawah, biasanya berupa bengkok atau tanah kas desa, yang sangat dibatasi penggunaannya untuk usaha di luar pertanian. 




Berdasarkan data dari BPS DIY, pada tahun 2012 luas sawah di DIY sebesar 56.364 Ha. Jumlah ini berkurang sebesar 1.072 Ha menjadi 55.292 Ha di tahun 2016. Apabila di rata-rata, 204.4 Ha sawah di Jogja hilang setiap tahunnya. Konversi terbesar terjadi di Kabupaten Sleman sebesar 801 Ha selama 5 tahun terakhir, atau sekitar 160.2 Ha per tahunnya. 

Mengutip apa yang disampaikan Subejo PhD, Dosen Fakultas Pertanian UGM di dalam artikel yang dimuat di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 8 Maret 2017, hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi laju alh fungsi lahan pertanian adalah dengan mempercepat proses penyusunan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di semua kabupaten. Dengan ditetapkannya Perda LP2B yang terintegrasi dalam RTRW dapat segera ditetapkan kawasan pertanian yang dilindungi. Lahan pertanian yang dilindungi tentunya didasarkan pada situasi dan lokasi kawasan, aksesibilitas, kesuburan, irigasi, ketersediaan infrastruktur pertanian dan lain sebagainya.

Setelah penetapan kawasan lahan pertanian dilindungi, dapat segera diikuti dengan kebijakan dan program-program yang dirancang dan diimplementasikan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) teknis. Sehingga secara terintegrasi dapat memberikan perlindungan pada lahan pertanian yang telah ditetapkan.

Pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan lahan pertanian harus mencakup semua aspek mulai hulu sampai dengan hilir. Program yang dapat dikembangkan antara lain pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan usaha tani, gudang dan sebagainya). Kemudian penyediaan input dan sarana-prasarana usaha tani yang mudah diakses petani, dukungan pembiayaan usaha tani. Hal yang tidak kalah penting adalah jaminan pasar atas produk pangan.

Diluar itu semua, beberapa hari lalu, sebagaimana kegiatan rutin di pagi hari sebelum anak-anak berangkat sekolah, kami sempatkan main ke Taman Kuliner Condongcatur. Lokasi besutan Pemda DIY seluas 1,5 Ha yang menggabungkan konsep taman dengan sarana hiburan dan olah raga, terdiri dari 40 buah resto dan 80 buah kios. 

Disana kami bertemu Mbah Warto (bukan nama sebenarnya). Petani yang masih bertahan dari gempuran penawaran para pemburu tanah. Sawah Mbah Warto berlokasi di sisi Timur Tamkul berjumlah 3 petak, hasil warisan dari orang tuanya. Sekarang dia tinggal mengolah 2 petak karena yang 1 petak sudah dia jual untuk membangunkan rumah anaknya. 

Mbah Warto menceritakan, bagaimana hampir setiap minggu rumahnya dikunjungi para pemburu tanah, menawar untuk membeli sawahnya. Bertahun-tahun kondisi seperti ini berjalan. Hingga kini dia masih mantap untuk tetap mempertahankan sawah dan profesinya sebagai petani. 

Akan tetapi, Mbah Warto juga tidak tahu apakah anak-anaknya besok masih akan mempertahankan tanah sawahnya. Dia menuturkan, sawah di sebelahnya adalah milik kakaknya, yang setelah meninggal direncanakan dijual dan dibagi oleh anak-anaknya. 

Kisah Mbah Warto adalah gambaran bagaimana semakin beratnya warga lokal mempertahankan tanah sawahnya. Sebuah harapan terselip, agar sawah Mbah Warto tetap bertahan dan memberikan kesempatan bagi anak-anakku untuk bermain lumpur kembali, menanam padi dan setidaknya belajar bagaimana menjadi seorang petani. 

Sumber:
1. http://yogyakarta.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/73
2. http://krjogja.com/web/news/read/26594/Quo_Vadis_Alih_Fungsi_Lahan_Pertanian