Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Senin, 05 Desember 2011

Kebimbangan Menuju Pengelolaan Hutan Lestari

 Sudah menjadi sebuah rahasia umum, kondisi kehutanan Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Ibarat sebuah ungkapan, “Ketika pohon-pohon habis ditebang, manusia baru akan sadar, uang tidak bisa dimakan”. Kondisi kehutanan dirasakan semakin terpuruk dengan di cap nya hutan sebagai sumber dari berbagai bencana. Berbagi daerah di Indonesia, dari ujung barat hinga timur tidak luput dari bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan selusin bencana lain yang terus meningkat setiap tahunnya. 

Berkaca dari kondisi di atas, pertanyaan pun bermunculan. Bagaimana cara untuk memperbaiki kondisi kehutanan Indonesia yang sudah terlanjur rusak, dan siapa yang akan memegang bendera di posisi terdepan? Dua pertanyaan yang singkat, tetapi membutuhkan telaah pemikiran dan usaha yang keras untuk menjawabnya. 

Upaya perbaikan kehutanan mulai menemukan pangkalnya dengan bergulirnya isu sustainable development berkaitan dengan kelola hutan lestari (sustainable forest management=SFM) di dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED-Rio De Janeiro, 3-14 June 1992)-khususnya Rio Declaration on Environment and Development. Per definisi, Sustainable development is based on three criteria: environmental protection, social progress and economic development. Production and consumption methods must respect the human and natural environment to enable all the earth’s inhabitants to satisfy their basic needs (food, shelter, clothing, education, work, and live in a healthy environment) (Iskandar, Untung 2011).

Konsep kelola hutan lestari, selanjutnya nyaring terdengar di Indonesia, salah satunya dengan terbitnya PP No 34 tahun 2002 tentang kelola hutan lestari dengan poin penting, pemanfaatan hutan secara lestari wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolan hutan secara lestari yang diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan. Selanjutnya, menindaklanjuti PP tersebut, pada tanggal 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Peraturan ini mulai dilaksanakan pada  tanggal  1 September 2009.

Lebih jauh, mari kita berbicara terkait konsep dan realita. Konsep kelola hutan lestari ternyata belum sepenuhnya berjalan mulus, begitu banyak tantangan dan dinamika yang harus dihadapi.
Pertama,  semakin condong kepada politik dagang global (politc of global trading). Pasar global dengan leluasa memainkan percaturan konsep kelestarian kelola hutan Indonesia. Bahkan terasa kita lebih tunduk dengan kebijakan pasar global dibandingkan dengan kebijakan dalam negeri sendiri. Konsep kelestarian justru lebih mengarah pada penekanan kayu yang legal, bukan kepada hierarki kelestarian hutan itu sendiri. Seolah-olah  kita dipaksa mengikuti kemauan pasar global yang semakin lekat dengan neoliberalisme. Dan kembali lagi, kelestarian kelola hutan masih didominasi paradigma hutan adalah kayu. Lantas, apakah semakin bertambahnya jumlah kayu yang tersertifikasi, berarti semakin lestari hutan Indonesia?

Kedua, antara sertifikasi wajib dan sukarela. Saat ini kita melihat tantangan sertifikasi kelola hutan lestari semakin besar, terutama di sektor swasta. Di satu sisi harus mengikuti skema wajib Kelola Hutan Lestari versi Menteri Kehutanan-yang memberikan Izin Usaha, sedangkan disisi lain harus mendapatkan sertifikat berstandar internasional ketika ingin bersaing di pasar global. Hingga saat ini, sebut saja SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) belum sepenuhnya diakui di kancah internasional. Terutama berkaitan dengan semakin turunnya kepercayaan internasional terhadap pemerintah Indonesia. Apalagi kalau bukan soal korupsi, ketidakjujuran dan penyalahgunaan wewenang yang semakin masif. Dunia internasional lebih trust kepada sertifikasi yang berstandar internasional, sebut saja salah satunya FSC (Forest Stewardship Council) dengan kredibilitasnya. Dan kitapun harus mengakui, baru sedikit unit manajemen yang lolos sertifikasi sukarela, itupun unit-unit manajemen dengan dominasi kepemilikan pihak asing yang sangat “berambisi” menguasai pasar global. Sementara, bagaimana dengan unit-unit manajemen lokal, mampukah tetap survive di tengah jepitan gurita pasar global?

Ketiga, kompetisi SDM (Sumber Daya Manusia) Global. Dalam PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 secara secara tegas mengatur bahwa pengelolaan hutan harus ditangani oleh SDM profesional. Kompetensi profesional ditunjukkan oleh sertifikat yang diterbitan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pemerintah telah membentuk badan Nasional sertifikasi Profesi, dalam pelaksanaannya memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Sektoral (Kehutanan Indonesia) (Santoso, Harry 2011). 
Dan dengan masuknya Indonesia di dalam konsep kelestarian hutan dunia, berarti SDM kita (rimbawan) harus siap untuk berkompetisi dengan SDM asing. Dan hasilnya, tentusaja harus menang. Karena apabila tidak, konsep kelestarian hutan Indonesia akan semakin didominasi oleh pemikiran asing bukan kita sebagai “pemilik kedaulatan” dalam mengelola hutan Indonesia. Adanya agenda besar REDD – Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation yang diusulkan Indonesia ketika COP 13 – UNCCC di Bali dan ditindaklanjuti dengan Letter of Intent  dengan pemerintah Norway, di Oslo pada tanggal 10 Mei 2010 dengan tajuk “Cooperation on Reducing Green House Gas Emissions From Deforestation And Forest Degradation. Lebih lanjut, Indonesia mendapatkan puncak momentumnya ketika COP 15 Copenhagen UN Climate Change Conference digelar. Capaian tersebut memberikan “ujian” untuk melihat seberapa besar kemampuan SDM Indonesia (rimbawan) menjawab tantangan tersebut.

Keempat, mitos premium price. Bulan November lalu, baru saja diadakan Dialog Asia Forest Partnership (AFP) 2011 di Beijing. Seperti yang ditulis di situs web REDD-Indonesia: Produk-produk kayu bersertifikat legalitas sumber kayu untuk memenuhi standar Uni Eropa yang baru tidak akan selalu menghasilkan harga yang lebih tinggi bagi para produsen Asia yang berharap dapat mengimbangi kenaikan biaya produksi akibat persyaratan sertifikasi, demikian dikatakan oleh pejabat Uni Eropa, Hugh Speechly, Koordinator Tata Kelola dan Perdagangan Hutan di Departemen Pembangunan Internasional Inggris. Ditambah lagi, kondisi Eropa saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang sangat hebat sehingga semakin jauh konsistensi pasar dalam menghargai kayu dan produk kayu yang bersertifikat. Dan kondisi ini harusnya membuka mata kita, ketika yang dituju dari kelola hutan lestari hanyalah premium price pasar internasional, maka bersiap-siaplah menelan pil pahit, kelestarian kelola hutan yang hakiki akan semakin jauh panggang dari api.

Kelima, benang kusut klasik sektor kehutanan yang belum terurai. Sebelum bergerak terlalu jauh menuju konsep kelestarian hutan yang lebih dominan akan sertifikasi, kita masih melihat berbagai persoalan yang menghimpit kehutanan Indonesia belum terselesaikan. Kepastian status kawasan yang masih belem clear, posisi tawar kehutanan yang begitu rendah dengan  mudahnya alih fungsi kawasan hutan menjadi kebun dan tambang serta masih belum maksimalnya peran dan akses masyarakat terhadap pengelolaan dan pengusahaan hutan. Setumpuk persoalan yang sebenarnya harus terlebih dahulu diselesaikan, karena ketika berbicara mengenai kelestarian hutan harus benar-benar mencakup tiga pilar, yakni: ekonomi, sosial dan lingkungan. Hanya saja, hingga saat ini sepertinya baru pilar ekonomi yang menjadi “anak kesayangan”. Sedangkan yang lain mungkin baru sebatas anak angkat.

Berbagai tantangan dan dinamika diatas memperlihatkan, siapakah sosok “pembawa bendera” yang sebenarnya dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Rimbawan Indonesia saya rasa pantas dan bahkan harus berada di posisi paling depan untuk merealisasikannya. Mari kepalkan tangan sembari teriakkan: “Kami Rimbawan Indonesia, siap mewujudkan Kelestarian Hutan!” Dan saya optimis dengan itu, ketika akal dan moral berjalan seimbang dan beriringan.



*Anton Prasojo, Alumni  Fakultas Kehutanan UGM Angkatan 2006
Tulisan terinspirasi ketika menjadi Moderator dalam Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Lestari yang diadakan KMMH (Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan) Fakultas Kehutanan UGM di Yogyakarta,  3 Desember 2011


Kamis, 01 Desember 2011

G.A.L.A.U pasca WISUDA ?

Memasuki dunia baru, memang menjadi tantangan tersendiri dari perjalanan hidup kita. Kebetulan beberapa waktu lalu, diminta kawan-kawan KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan) UGM untuk berbicara dalam momen syukuran wisuda periode November 2011. Dan pagi ini, setelah pulang sholat shubuh di mushola, duduk dekat pintu yang mengadap ke timur, sambil mengamati Mas Anjar (tetanggaku penjual bubur ayam yang baik hati) ngasih makan ayam-ayamnya, kucoba menuliskan pendapat. Silakan, bisa dilanjutkan membacanya. Jangan lupa, dimulai dengan senyuman... :)

Satu tahun yang lalu, Alhamdulillah aku juga menjadi bagian dari mahasiswa yang merayakan momen syukuran itu. Dan sekarang, aku harus duduk, berbicara terkait masa pasca kampus kepada kawan-kawan seperjuangan, kakak angkatan dan juga adik angkatan. Dan biasanya yang duduk memberikan wejangan adalah para Bapak yang sudah puluhan tahun meninggalkan dunia kampus. Sedangkan aku, baru saja belum genap satu tahun lepas kampus.

Ingatan segarku menembus waku, tanggal 15 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB sidang skripsiku yang berjudul “Konduktivitas Panas Empat Jenis Kayu dalam Kondisi Kadar Air yang Berbeda” sedang “didadar”, hee… kayak telur aja… 

Dan bulan November 2010 jadwalnya bagi kami, tapi Allah berencana yang lebih baik. Erupsi Merapi menjadikan wisuda kami ditunda hingga bulan Februari 2011, tapi tak mengapa, impianku yang lain, “menikah” sebelum wisuda Alhamdulillah diberikan jalan kemudahan. Jadi ya… ketika wisuda, kalau yang lain dihadiri orang tua, asyiiik, sudah ada bidadari yang menemani dan menanti di bawah tangga Graha Sabha Pramana UGM sambil menggenggam setangkai mawar putih. Lebih tepatnya bidadariku tidak sendirian, sudah ada Chayra kecil yang berumur 2 bulan di rahimnya. Indahnya, semoga hamba tidak termasuk orang yang lalai akan berjuta nikmat Mu…

Eh, malah keterusan curhatnya. Harus dihentikan. Bisa kebuka semua kartunya As nya…back to right topic ! Stop romantisme wisuda… saatnya berkarya di dunia nyata!

Selepas hiruk pikuk dunia kampus, dimulailah perjuangan sebenarnya. Banyak kawan yang berbagi cerita kepada ku, dan akan kurangkai dalam satu bundel cerita. Kita semua yang belum atau sudah angkat koper dari kampus, akan benar-benar meninggalkan kampus yang kita cintai dengan begitu banyak kesenangan di dalamnya. Ada yang menemukan masa-masa jiwa aktivisnya meledak, jiwa sosialnya begitu menghujam atau masa-masa belajar tanpa beban ekonomi (bagi yang masih tega menengadahkan tangan kepada orang tua, hee). Dan kesemuanya itu akan ditinggalkan, atau lebih tepatnya “diuji” dengan kehidupan nyata. 

Banyak kawan yang kemudian mengalami masa-masa GALAU. Aku tidak tahu, dari mana istilah ini muncul dan apa artinya. Tetapi dikit-dikit kata ini muncul di berbagai status update Facebook atau Twitter. Semoga kita tidak termasuk dalam bagian jamaah Galau. Padahal GALAU juga mempunyai arti yang bagus juga, GALAU (God Always Listening AND Understanding), terlepas mana yang benar, heee.
Kali ini kita akan berdikusi pada sisi GALAU yang sering diomongi ABABIL. Apaan lagi tuh?? Berarti bisa digabung, ABG Labil GALAU  :)





Ujian Eksistensi Diri
Dunia pasca kampus justru sangat menantang untuk kita jalani, karena eksistensi kita akan diuji. 

Pertama, tidak usah terlalu takut melangkahkan kaki. Bekal yang harus kita miliki adalah “karakter diri”. Dimanapun kita berada, ketika karakter diri kita sudah kuat, pasti tidak akan terbawa arus dunia hedonisme yang dulu barangkali tidak kita temui di kampus. Dan beruntunglah bagi kawan-kawan yang ketika masa kuliah banyak mengikuti berbagai organisasi kampus. Disitulah karakter diri ditempa dan dicetak dengan sebaik mungkin. Muncul manajemen diri yang baik, tanggungjawab yang tinggi dan kepekaan sosial yang luas. 

Dan ingatlah, ketika sudah memasuki dunia kerja, jarang yang akan mengingatkan kita ketika sedang khilaf, kecuali diri kita yang mempunyai alarm untuk mendeteksinya. Tidak ada yang sering SMS tausiyah, atau SMS pengingat kalau yang kita lakukan kurang tepat, atau teguran langsung ketika kita sholat jamaah di masjid kampus terlambat. Semua mungkin akan menghilan kawan…

Kedua, ketika mulai bekerja harus menjaga “4 Keseimbangan Hidup”. Keseimbangan hidup itu adalah rohani, keluarga, pekerjaan dan sosial. Tidak dapat ditawar-tawar lagi lho ya.. Keempatnya harus dijaga keseimbangannya. Kondisi rohani harus dijaga sebaik mungkin. Sholat fardhu harus tetap dijaga, syukur bisa berjamaah. Puasa-puasa sunah bisa kita jadikan benteng untuk meredam berbagai macam nafsu ketika melihat gemerlap dunia luar. Dan lagi, rohani bisa dijaga dengan berkumpul dengan orang-orang sholeh. Bagi yang ketika mahasiswa bergabung di kelompok-kelompok ngaji (halaqoh), wajib dilanjutkan. Dan puji syukur, ketika bekerja kita dapat tetaap membina

Minggu, 27 November 2011

Kunci Suksesnya Pendidikan Lingkungan Hidup


Melihat, mendengar dan belajar. Bukankah menyenangkan ketika menjumpai kondisi tertentu, kita bisa mengambil pelajaran berharga, dan terlebih bisa berbagi dengan orang lain. Kita tulis… kita tulis.. karena tulisan akan tetap ada, selama peradaban itu masih ada.

Ditemani si kecil yang mata kecilnya begitu cerah, berbaring dekat pintu agar tidak kepanasan. Sesekali dia berteriak kecil, sambil kembang senyumnya merekah dan menggemaskan. Dan ditemani alunan murotal, kebetulan sampai pertengahan surat Al Mulk.

Satu hari yang lalu, Sabtu 26 November 2011 diminta bantuan oleh adek-adek Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Kehutanan UGM untuk hadir di Seminar Nasional Pendidikan Lingkungan. Duduk bersama guru-guru Sekolah Dasar (SD) se- Yogyakarta.
Sampai disana, ternyata ruangan sudah penuh oleh bapak ibu guru. Biasanya seminar-seminar sebelumnya, jadwal jam 8, tetapi kursi-kursi masih terlihat kosong. Dan hari ini berbeda, terasa disiplin, jam 7.30 sudah penuh. Sengaja aku datang lebih awal, bagaimana tidak, handphone ku tidak berhenti berbunyi, entah sms atau telepon dari panitia agar aku segera sampai kampus. Aku baca lagi undangannya, ternyata memang jam 9, tapi yaa, kali ini berbeda. Bapak / Ibu guru ternyata memang lebih disiplin dari peserta yang lainnya, hee.

Tidak beberapa lama aku sampai ruang seminar, acarapun dimulai. Aku menangkap beberapa poin besar dari seminar selama 4 jam tersebut. Empat hal yang diperlukan sebagai kunci kesuksesan membangun generasi masa depan yang Cinta Lingnkungan.

Pertama, Pendidikan Lingkungan wajib diberikan kepada siswa, terlebih siswa SD. Pada level SD, menjadi waktu yang sangat tepat menumbuhkan kesadaran siswa terkait kelestarian lingkungan hidup. Pada masa ini, anak relatif mudah dibentuk untuk membiasakan diri hidup ramah lingkungan. Kita semua tentu menyadari, generasi saat ini menjadi salah satu generasi yang dianggap memberikan dampak kerusakan terbesar bagi lingkungan. Berbagai macam kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggungjawab akan keberlanjutan generasi berikutnya, pola hidup tidak ramah lingkungan, dan pemanfaatan berbagai macam teknologi tanpa mengindahkan kesalamatan masa depan. Dan ketika kita mengharapkan generasi berikutnya lebih baik dari generasi saat ini, maka mari kita tanamkan dalam jiwa anak-anak kita bagaimana hidup berdampingan secara arif dengan alam dan lingkungan.

Kedua, pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan harus lebih memberikan prioritas dalam pengembangan kurikulum pendidikan lingkungan. Sejak tahun 1986 sudah ada inisiasi pemerintah untk mengembangkan PKLH (Pendidiikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup). Hanya saja, hingga saat ini belum terlihat semangat dan keseriusan dalam menggarapnya. Hal ini terlihat dari belum masuknya mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai mata pelajaran tersendiri di sekolah. Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan bagian kecil dari mata pelajaran IPA kalau ditingkat SD. Dan jelas hal ini belum cukup , mengingat mata pelajaran IPA sendiri sudah banyak pembebanan dalam kurikulumnya.

Ketiga, kesuksesan ditentukan oleh totalitas tenaga pendidik. Melihat pendidikan ditingkat SD saat ini, perlu banyak kekreativitasan dari guru dalam merangsang siswa untuk aktif belajar dan tertarik menjaga kelestarian lingkungan, Kegiatan belajar dan mengajar di luar kelas dapat dijadikan salah satu alternatifnya. Siswa seusia SD, tentu lebih senang dan jelas ketika diajak belajar sambil bermain, belajar sambil melihat dan belajar sambil mempraktekannya. Dan sangat sangat appreciate dengan kawan-kawan yang saat ini berjuang dalam membangun Sekolah Alam. Sekolah yang mengajak siswa untuk mengenal lebih dekat dengan alam, dimana setiap aktivitas belajarnya banyak bersentuhan dengan alam. Dan ini merupakan salah satu terobosan yang bagus ketika anak banyak belajar bersama alam.

Keempat, peran teladan orang tua. Ini salah satu aspek yang sangat penting. Bagaimanapun juga, setiap anak setelah menyelesaikan jam sekolahnya pastilah akan pulang, hidup dan tumbuh ditengah keluarganya. Dan di lingkungan inilah sisi keteladanan orang tua terkait pola hidup, kebiasaaan sehari hari akan mendarah daging terhadap anak. Seberapapun besar kesadaran yang ditumbuhkan dan ilmu terkait pendidikan lingkungan yang diberikan di sekolah, tetapi dukungan orang tua dalam hal ini teladan belum ada, lantas bagaimana? Tentusaja tidak akan maksimal. Anak tetap akan tumbuh mengikuti pola hidup orang tua yang bisa jadi jauh dari pola hidup ramah lingkungan. Bagaimana orang tua menggunakan air di rumah, memanfaatkan energi listrik, atau mengelola sampah di rumah pastilah akan dicontoh oleh anaknya. Maka dari itu, mari sebagai orang tua yang telah memiliki kedewasaan dalan sikap dan pengetahuan kita didik anak-anak kita dengan keteladan dalam hidup berdampingan dengan lingkungan. Hemat menggunakan air, hemat menggunakan energi, dan menciptakan kondisi rumah yang sehat dan indah.

Keempat hal diatas bisa kita jadikan evaluasi terhadap Pendidikan Lingkungan Hidup saat ini. Dan tidak hanya berhenti dengan segudang evaluasi dan masukan, lebih dari itu, mari kita mulai dari diri kita masing-masing dan lingkungan kita untuk mendukung proses Pendidikan Lingkungan berjalan seperti hararapan kita. Terciptanya generasi masa depan yang mencintai lingkungan sekitarnya, sama dengan cintanya terhadap dirinya sendiri. Let`s move guys…

Sabtu, 20 Agustus 2011

The Disaster of Mexico Gulf

It`s is a year since Deep water Horizon rig exploded in the Gulf og Mexico. Eleven people were killed in the accident and huge amounts of oil poured out into the water nearby. Many people continue to strugle with life after the disaster.
When President Obama stood on the beach of Louisiana and Florida last year, he was as powerless as just about everyone else. The fate of Deep water Horizon rig was in the hands of BP engineering and for almost three months, it gushed crude oil out into Gulf of Mexico in almost unimaginable volumes.
By the time the pipeline was capped, BP`s reputation was in ruins. Tourism across three states had ground to a half and the livelihood of countless fisherman was threatened.
Twelve month later, the healing process has been slow; tourists are beginning to return. But for many people still seeking compensation. Almost $4 billion has been paid to those who lost business, but many view the process as confusing, unfair and to slow.
Many questions also remain about environmental damage. Most scientist agree it wasn't as severe as firs thought, but the long-term effect of such as huge catastrophe will take years to unfold. The last of fishing waters that were closed last year have finally been re-opened, but for the people of the Gulf States, the scars have far from healed.

Rabu, 08 Juni 2011

Generasi Penyelamat Bumi


Setiap tanggal 5 Juni, kita peringati sebagai Hari Lingkungan Hidup. Indonesia pada tahun 2007, ketika agenda UNFCC digelar dan melahirkan Bali Road Map, pemerintah memproklamirkan diri untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Target besar tersebut dicanangkan sebagai keseriusan pemerintah dalam turut serta dengan negara-negara lain di dunia mengurangi penyebab Global Warming.Global Warming tampaknya sudah bukan menjadi isu di elite negara-negara maju, melainkan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia secara langsung sudah menuai dampak buruk dari bencana globat tersebut. Pulau-pulau di wilayah kedaulatan RI yang jumlahnya lebih dari 13.500 pulau satu persatu mulai hilang, tenggelam oleh naiknya muka air laut. Bencana iklim ekstrim terus melanda berbagai daerah, cuaca panas terik, dengan seketika berubah menjadi hujan deras dan menimbulkan banjir di berbagai wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir. Ketersediaan pangan mulai tidak menentu setelah musim tanam dan panen sudah tidak dapat mengandalkan hitungan musim. Selanjutnya berbagai hama dan penyakit jenis baru telah merebah dan menjangkiti masyarakat tanpa pencegahan dan obat. Fenomena ulat bulu baru-baru ini yang meresahkan masyarakat merupakan bukti ketidak seimbangan alam yang merupakan dampak Global Warming yang nyata di depan mata.

Bencana dan ujian tersebut sudah seharusnya menguatkan tangan dan kaki kita. Berbagai pihak, baik pemerintah dan masyarakat wajib bahu membahu untuk membangun kesadaran dan kearifan hidup masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan. Kelalaian dan keserahakan kita sudah saatnya dihentikan. Kita semua tentunya tidak ingin terkena imbas dosa abadi dimana generasi selanjutnya akan menyalahkan kita karena meninggalkan berbagai kerusakan dan penderitaan. Warisan terbaik yang bisa dinikmati anak cucu berupa SDA baik hayati maupun non hayati yang masih bisa dikelola haruslah menjadi impian generasi saat ini. Tidak ada kata terlambat untuk berubah, dan itu semua berada di tangan kita. Dan tanggung jawab kita, generasi berikutnya haruslah lebih baik daripada generasi saat ini.

Generasi yang hidup secara arif dan mendudukkan lingkungan hidup sebagai bagian dari nyawa manusia. Kalau melihat pengalaman hidup, sebenarnya itu bukanlah hal yang sukar dilakukan. Setidaknya orang tua kita sudah ratusan tahun mendidik untuk mengahargai dan mencintai lingkungan. Masyarakat di sekitar hutan yang memiliki tanah ulayat dengan kehidupan tradisional tentunya memiliki hutan yang jauh lebih lestari dibandingkan wilayah lain yang sudah tersentuh budaya konsumtif dan egoistik. Dan diberbagai daerah pedalaman masih banyak yang memegang erat ajaran leluhur untuk terus hidup selaras dengan alam. Kehidupan seperti itu, tertanam secara turun temurun dan menjadi local wisdom atau kearifan lokal masyarakat. Kearifan lokal tersebut membendung jauh-jauh pengaruh negatif dari globalisasi yang terus mengusik kehidupan alam dan lingkungan. Bahkan lebih jauh, kehidupan modernis saat ini telah membelenggu setiap rasa kasih sayang terhadap sesama dan lingkungan. Kesadaran untuk hidup egois dan jauh dari ramah lingkungan muncul bersamaan dengan kebutuhan manusia yang terus bertambah, tetapi tidak mengindahkan mahluk lain yang hidup di sekitarnya. Sumber Daya Alam diekploitasi dengan genjarnya demi menutupi kebutuhan sesaa.

Menjadi tugas kita bersama, bagaimana mengadopsi warisan leluhur tadi, berupa kearifan lokal agar bisa diajarkan untuk generasi saat ini dan akan datang. Tentunya kearifan lokal yang membentuk pola hidup cinta lingkungan sudah semestinya dijadikan agenda utama dalam upaya perbaikan lingkungan hidup. Kembali lagi, semuanya berawal dari ulang tangan dan perilaku manusia. Manusia yang telah merusak lingkungan hidup dan memberikan dampak seperti saat ini, saatnya memperbaiki diri demi keberlangsungan hidup semua mahluk di dunia. Saatnya membangun “Generasi Penyelamat Bumi”. Generasi Penyelamat Bumi adalah generasi yang dengan segenap pikiran dan tingkah laku berupaya untuk hidup selaras dan arif dengan lingkungan di sekitarnya. Generasi Penyelamat Bumi dapat dilahirkan melalui dua jalur, yakni jalur informal dan jalur formal. Jalur informal mendudukkan keluarga sebagai bagian yang paling mendasar. Dan itu adalah kewajiban dari setiap orang tua. Tidaklah mungkin anak-anak kita bisa memahami akan pentingnya lingkungan, ketika orang tua yang menjadi teladan juga tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Perilaku keluarga yang cinta lingkungan dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan sumber daya air, bahan makanan, energi listrik, dan bahan bakar. Penghematan terhadap sumber daya tersebut menjadi awal dari kecintaan kita terhadap lingkungan. Jalur informal lainnya adalah masyarakat. Setelah kita selesai dari tahapan keluarga,harapannya kita dapat membawa perilaku cinta lingkungan ke ranah masyarakat. Kearifan hidup dengan lingkungan bisa di terapkan di tengah masyarakat dengan perilaku lingkungan sehat. Kebersamaan seluruh anggota masyarakat untuk menjaga kebersihan, keindahan dan kesehatan adalah cerminan untuk mengajarkan pada generasi selanjutnya. Selanjutnya, jalur formal dapat melalui pendidikan di sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Pendidikan lingkungan sebaiknya menjadi salah satu materi yang diajarkan di sekolah. Pendidikan lingkungan akan memberikan pemahaman yang memadai bagi setiap siswa untuk hidup arif dan berdampingan dengan lingkungan. Selanjutnya, Generasi Penyelamat Bumi yang menjadi impian kita dapat menjadi kenyataan.

Senin, 06 Juni 2011

Menjemput Musnahnya Hutan Lindung Indonesia


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Kamis, 19 Mei 2011 baru saja menerbitkan Perpres No 28 Tahun 2011. Perpres tersebut memberikan legitimasi untuk melakukan aktivitas tambang panas bumi (geothermal) di hutan lindung dan mengancam pemusnahan 11,4 juta hektar hutan lindung. Latarbelakang dari munculnya Perpres ini dimungkinkan karena lemahnya bargaining position sektor kehutanan yang tidak bisa meyakinkan pemerintah akan tingginya fungsi hutan lindung. Pemerintah lebih memilih untuk mengembangkan energi panas bumi sebagai alternatif pengganti BBM untuk bahan bakar pembangkit listrik daripada tetap menjaga fungsi utama dari hutan lindung tersebut.
Penelitian dari Kelompok Program Penelitian Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi pada tahun 2009 menunjukan bahwa jumlah lokasi panas bumi yang berpotensi mengalami tumpang tindih sebagian atau seluruhnya dengan kawasan hutan adalah sekitar 81 lokasi atau sekitar 30 % dari total lokasi panas bumi di Indonesia dengan potensi sekitar 12.000 MW. Dari sejumlah ini, sekitar 11 % ( 29 lokasi) berada di kawasan hutan konservasi dengan potensi sekitar 3400 MW dan sekitar 19 % (52 lokasi) berada di kawasan hutan lindung dengan potensi sekitar 8600 MW.
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan hutan lindung Indonesia apabila semua lokasi panas bumi tersebut benar-benar dibuka untuk pertambangan geothermal . Bagaimanapun bentuk pertambangan yang dilakukan, pertambangan tetap memberikan daya musnah luar biasa. Tidak hanya kerusakan permanen untuk ekosistem di lokasi penambangan, tetapi juga akan berdampak terhadap masyarakat. Apalagi yang dijadikan areal pertambangan adalah hutan lindung. Hutan lindung yang selama ini menjad benteng terakhir dari berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lain sebagainya. Akibat buruk yang tidak ternilai ini tampaknya luput dari pandangan pemerintah yang telah silau oleh tawaran keuntungan sesaat.
Perpres No. 28 Tahun 2011 sudah diterbitkan, tetapi pertanyaan besar yang muncul adalah pertimbangan teknis kebijakan tersebut. Perpres tersebut mengambil celah hukum atas UU No 41/1999 Tentang Kehutanan dimana tertuang pada pasal 38 sebagai berikut: (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung; (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan; (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka; (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kegiatan pertambangan sebenarnya mulai dibuka lebar ketika tahun 2008 keluar PP No.2 tahun 2008. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini akhirnya membuka lebar-lebar kegiatan pertambangan masuk ke dalam hutan lindung. Tarif sewa seharga Rp 300/m2 per tahun sangat murah dibandingkan kerusakan permanen dari aktivitas pertambangan tersebut. Kerugian dalam jumlah besar dibandingkan pendapatan dari kegiatan pertambangan sudah berkali-kali diterima sebagai pil pahit di berbagai daerah. Kabupaten Balai Karimun di Kepulauan Riau misalnya. Kabupaten ini hanya menerima pendapatan langsung Rp 4 miliar sampai Rp 5 miliar per tahun dari sektor tambang. Sementara kabupaten ini kehilangan Rp 8 miliar per tahun dari fungsi-fungsi hutan lindungnya (Hariadi, 2005).
Pertambangan geothermal dengan teknik pertambangan bawah tanah memang tidak disebutkan dalam UU No 41/1999, tetapi terkait tata ruang wilayah, pengelolaan kawasan hutan dan juga akibat dari kegiatan pertambangan sudah jelas (Hariadi, 2011). Dan lagi konflik-konflik yang akan muncul di lapangan pastilah akan semakin besar ketika tumpang tindih penggunaan kawasan hutan ini terus digalakkan. Sisi lain, Perpres No.28 tahun 2011 Memperlihatkan janji pemerintah pada UNFCC di Bali tahun 2007 dimana Indonesia berjanji menurunkan 26% emisi karbon pada tahun 2020 semakin jauh dari realisasi.
Perpres No 28 tahun 2011 harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terlebih lagi Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM. Kedua belah pihak, petambangan dan kehutanan harus duduk bersama untuk mencari solusi yang baik dan adil. Aktivitas pertambangan bawah tanah harus benar-benar dikawal ketat agar Perpres tersebut tidak hanya menjadi legitimasi untuk perusakan kelestarian hutan lindung oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal yang tidak kalah penting adalah koordinasi kedua Kementerian tersebut dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten adalah penertiban perusahaan pertambangan yang masuk kawasan kehutanan. Kementerian ESDM (2011), menyebutkan di Indonesia diperkirakan ada 8 ribu perusahaan pertambangan, tetapi baru 3 ribu yang mengkantongi izin. Oleh karena itu, penertiban perusahaan tambang merupakan hal yang sangat esensial untuk keberlanjutan hutan lindung Indonesia dari ancaman pemusnahan.

Jumat, 20 Mei 2011

Indonesia (tidak) Butuh Intelektual Pengecut


Pagi ini tidaksengaja bertemu dengan seorang yang “diburu” setelah pada akhir tahun 2009 menulis buku Membongkar Gurita Cikeas. Pertemuan kami tidaklah di tempat diskusi publik atau seminar, sekedar pertemuan di Utara Fakultas Kehutanan UGM, pinggir selokan Mataran tepatnya. Terlihat dari kejauhan orang berambut gondrong dengan brewok dan kumis yang mulai memutih. Sepintas seperti Goerge Junus Aditjondro, dan itu dia. Ternyata dia baru jalan pagi plus membeli lauk untuk sarapan paginya. Pertemuan pertama saya dengan Pak Goerge (pangggilan akrabnya) adalah tahun 2009 ketika asrama dimana saya tinggal (PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta) mengundangnya pada saat acara Latihan Gabungan peserta PPSDMS NF UGM-ITS. Pak George memang sudah lama mencuri perhatian para petinggi negeri ini. Mulai pemerintahan Soeharto hingga generasi SBY saat ini. Keberaniannya mengkritik Soeharto membuat dia harus “lari” dari Indonesia pada tahun 1995-2002. Dan tahun 1998 dirinya dicekal oleh Soeharto. Negara Australia menjadi lokasi “pelariannya”, sekaligus menjadi dosen Sosiologi di Newcastle University. Selepas Soeharto turun dari tahta, Goerge pulang ke tanah air. Keberaniannya menulis tidak pudar sedikitpun, terbukti dengan semakin banyaknya buku-buku yang ditulisnya. Buku-buku berjudul : Korban-korban Pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air (Pustaka Pelajar, 2003), Kebohongan-kebohongan Negara: Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara (Pustaka Pelajar, 2003), Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal (Pustaka Pelajar, 2003), dan Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, 2006) adalah buku-buku wujud kepedulian dan kekayaan intelektualitasnya.

Pagi tadi, dia banyak menyinggung “matinya” intelektualias di tataran mahasiswa dan masyarakat umumnya. “Kenapa setiap ada masalah dengan korupsi, entah itu zaman Soeharto, SBY, masalah Aceh, Papua, lingkungan hidup selalu harus saya yang menulis. Apa tidak ada penulis lain yang berani. Saya sendiri umur sudah hampir 65 tahun besok 27 Mei, apakah tidak ada orang lain yang peduli?” tuturnya dengan berapi-api.

Terus terang, saya merasa sangat tersentak. Apa yang dia sampaikan benar, ketika sekarang sangat banyak kaum intelektual muda, dimana setiap 3 bulan sekali mewisuda para mahasiswanya, tetapi justru kekayaan intelektual tersebut tidak diimbangi dengan semangat untuk menulis dan menegakkan kebenaran. Lebih lanjut lagi,di akhir obrolan singkat kami di pinggir mobil dan motor yang berseliweran dia berpesan: Banyak-banyaklah belajar, Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi Intelektual Pemberani, bukan Intelektual Pengecut.

Rabu, 11 Mei 2011

Belajar dari Penjual Rujak Es Krim


Belajar itu tidak harus dengan orang pintar dan berpendidikan tinggi. Malam ini, Allah benar-benar memberikan pelajaran berharga. Pelajaran yang aku dapatkan dari seorang penjual rujak es krim. Sebut saja namanya Mas Didi. Kebetulan dia adalah tetangga rumahku. Malam itu, ketika kajian rutin "Simakan Al Qur'an" setiap hari selasa, dengan langkah cepat kuberjalan ke rumah Pak Muslimin untuk bergabung ngaji. Alhamdulillah, kajiannya belum dimulai. Sambil menata nafas, ak ucapkan salam, menyalami satu persatu kawan-kawan pengajian. Duduklah ak di dekat pintu, dan berdampingan dengan Mas Didi. Sosok mas Didi ini belum lama aku kenal, maklumlah aku dan istri belum lama tinggal di blok D atau yg lebih dikenal dengan blok kandang. Sambil menunggu Pak ustadz Imam membuka kajian, kami sempatkan saling bertegur sapa. Kumulai sebuah pertanyaan basa-basi biar tidak kaku dan saling mengenal.

"Mas didi kalau jualan rujak es krim, dorong gerobaknya sampai mana?", tanyaku memulai pembicaraan.

"Sampai jalan kaliurang km. 4 mas", jawabnya.

Dalam hatiku, itukan cukup jauh, hampir 5 km dari rumah kami.

"Kenapa tidak menetap aja mas? Cari lokasi, biar nggak usah dorong-dorong lagi.", tanyaku dengan rasa ingin tahu.

Sambil tersenyum, diapun menjawab sekenanya. "Biar tidak ketinggalan shalat jama'ah di masjid mas. Skrang saya belum mampu cari orang buat gantian jaga kalau adzan dari masjid berkumandang. Kan lebih mudah bawa yang dorongan. Ketika adzan gerobak bisa langsung kita taruh di depan masjid dan tidak khawatir hilang. Kalau punya lokasi tetap pasti shalatnya jamaahnya bubar"


Terus terang, aku begitu tertohok. Subhanallah, orang dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi, harta yang tidak bertumpuk, jabatan yang tidak di puncak, tetapi memiliki keimanan dan ketaqwaan jauh di atas orang yang selama ini membanggakan harta dan tahta. Keingintahuanku akan orang ini semakin dalam. Lelaki berbadan sedang yang usianya 30-an ini ternyata telah mempunyai anak yang berumur 2 tahun. Dia adalah orang asli Klaten, tetapi sudah tinggal di jogja 10 tahun. Dan selama itu pula, dia telah berpindah dari rumah kontrakan ke kontrakan lain sebanyak enam kali. Semua dilakukannya untuk mendapatkan tempat terbaik untuk tinggal dan menjemput rezeki. Sepulang dari kajian, aku langsung menemui istriku yang baru selesai menyetrika baju. Ku sampaikan obrolanku dengan Mas Didi. Dan komentar singkat dari istriku: "Adek senang mas, kita tinggal di sini. Disini kita banyak belajar untuk bersyukur, banyak melihat ke bawah daripada sekedar melihat ke atas Hidup adalah pilihan. Kaya dan miskin hanya label buatan manusia"

Kamis, 28 April 2011

Lapindo Mudflow: Need Government Attention !!!


Lapindo Mudflow probably have not been major media spotlight in this country. In fact, this case concerns the fate of thousands people who become victims the parties who are not responsible. The government not brave giving punishment of parties that caused this disaster. Another side, they exactly help to cover compensation payments to Sidoarjo Mudflows victims. Number of victim have reach 13.146 peoples until now. And other information said more that it. We don't know when their suffering will be end. We hope that our leaders more respect with the justice and welfare of people than their personal or group interest.

Rabu, 27 April 2011

Kerusakan Hutan Berkedok Otonomi Daerah


Tanggal 24 april 2011 lalu republik ini baru saja memperingati Hari Otonomi Daerah ke-15. Sepanjang kurun waktu 1999-2010, jumlah daerah otonomi baru mencapai 205 (7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota). Jumlah perkembangan pemekaran daerah yang cukup besar. Lantas apa sebenarnya yang melatarbelakangi berbagai daerah di Indonesia ramai-ramai ingin berdiri secara otonom. Apakah ini sebagai salah satu bukti berakhirnya sistem sentralistik, semakin tingginya kemandirian untuk berani mengelola rumah tangganya sendiri atau justru ketidakpuasan dan hilangnya kepercayaan daerah terhadap pusat?
Salah satu sektor yang tidak dapat dipisahkan dari otonomi daerah adalah kehutanan. Bagaimanapun juga hutan beserta isinya merupakan sumber daya penting bagi masing-masing daerah, terlebih lagi bagi kabupaten-kabupaten di pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pertanyaan besarnya adalah, apakah selama lebih dari satu dasawarsa ini praktik otonomi daerah yang berkaitan dengan kehutanan sudah lempeng sesuai tujuan utamanya membawa rakyat dalam keadilan dan kemakmuran?
Fenomena selama ini dilapangan memperlihatkan sektor kehutanan kurang mendapatakan perhatian yang serius. Alih-alih diperhatikan, dibeberapa daerah justru kehutanan dijadikan sumber suntikan dana berbagai tindakan penyelewengan praktik otonomi daerah. Sudah menjadi rahasia umum ketika tiba Pilkada di berbagai daerah, tiba pula masa kehancuran hutan. Sumberdayanya dieksploitasi secara besar-besaran untuk memuluskan langkah menuju kursi bupati,gubernur atau posisi lain yang menggiurkan. Kembali lagi keadilan dan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuannya hanya isapan jempol belaka. Kemiskinan dan pengangguran di berbagai pelosok negeri masih besar. Angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta (Kompas, 2011).Dan lagi kerusakan hutan semakin diperparah dengan mudahnya izin pengusaha kehutanan untuk mengeksploitasi hutan sebagai hasil kong kalikong dengan pejabat di daerah. Berdasarkan informasi Ditjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan untuk tahun 2010 Ini saja terdapat 50 juta ha yang rusak.
Berbagai tindakan penyelewengan praktik otonomi daerah yang berkaitan dengan sektor kehutanan setidaknya bersumber dari dua hal. Pertama, rendahnya moralitas para elite politik. Campur tangan para elite politik dalam sektor kehutanan diharapkan bisa memperjuangkan kepentingan rakyat untuk mendapatkan hak-haknya. Yang terjadi justru berlomba-lomba memperkaya diri dan mengedepankan kepentingan kelompoknya. Janji-janji semasa hiruk-pikuk kampanye sudah luntur bersamaan dengan lunturnya moralitasnya sebagai pemimpin rakyat. Mereka cenderung meninggalkan rakyat yang secara jelas-jelas dalam demokrasi ini telah mengangkatnya menjadi pemimpin. Bahkan untuk merencanakan masa depan kehutanan yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat juga tidak dilibatkan. Rakyat dianggap tidak mumpuni untuk diajak duduk bersama merumuskan pengelolaan kehutanan mendatang. Alhasil, berbagai program yg berkaitan dengan sektor kehutanan sama sekali tidak menyentuh dan sesuai aspirasi rakyat. Kedua, kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan program talkshow di TVRI yang menghadirkan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan), Ketua GreenNet Indonesia (Transtoto Handadhari), Anggota DPR (Siswono Yudo H) dan sejumlah tokoh lain. Salah satu sesi di acara tersebut mengulas mengenai kehutanan dan otonomi daerah. Regulasi yang dilegalkan oleh DPR berupa UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata menimbulkan banyak tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah. Ditambah dengan pengawasan dan penegakan hukum yang sangat minim dalam pelaksanaannya. Di indonesia ini orang nomor satu di kehutanan adalah Menteri Kehutanan. Tetapi lain soal di kabupaten-kabupaten yang diwilayahnya memiliki kawasan hutan. Penguasanya adalah para bupati beserta jajarannya. Begitu mudahnya izin pemanfaatan hutan dengan kedok bahwa pimpinan daerah adalah kepanjangan tangan dari pusat. Menteri kehutanananpun tidak mampu berbuat banyak. Bukankah sekarang para bupati sudah tidak fardu 'ain mendengarkan dan melaksanakan instruksi menteri kehutanan. Di era otonomi daerah, raja-raja kecil di kabupaten atau kotalah yg berkuasa . Kurang sekali adanya pengawasan serta penindakan hukum terhadap berbagai penyelewengan tersebut. Seakan semuanya sudah tidak peduli lagi akan nasib hutan dan jutaan rakyat yang hidup darinya.
Lantas, sekarang apa yang bisa kita perbuat? Mengutip tulisan R Siti Zuhro, peneliti utama LIPI di harian kompas 26 april 2011 yang berjudul "Quo Vadis" Otonomi Daerah", diperlukan: reformasi. Kelembagaan daerah dan atau birokrasi lokal, secara konseptual maupun koprehensif, yang mencakup perbaikan birokrasi di pusat sampai daerah. Kemudian perbaikan penyelenggaraan Pilkada di 398 kabupaten dan 93 kota untuk melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat. Dan sekarang, mari giliran para pembaca sekalian bisa memberikan solusi apa yang paling tepat untuk segera dilakukan agar yang memiliki kepedulian akan hutan sebagai harta karun tak ternilai dari nenel moyang kita dapat diselamatkan di tengah era otonomi daerah yang semakin jauh dari tujuan.

Senin, 25 April 2011

The Disaster of Mexico Gulf

It's a year since the Deepwater Horizon rig exploded in the Gulf of Mexico. Eleven people were killed in the accident and huge amounts of oil poured out into the water nearby. Many people continue to struggle with life after the disaster.

When President Obama stood on the beaches of Louisiana and Florida last year, he was as powerless as just about everyone else. The fate of the Deepwater Horizon rig was in the hands of BP engineers and for almost three months, it gushed crude oil out into the Gulf of Mexico in almost unimaginable volumes.

By the time the pipeline was capped, BP's reputation was in ruins. Tourism across three states had ground to a halt and the livelihood of countless fishermen was threatened.

Twelve months later, the healing process has been slow; tourists are beginning to return. But for many still seeking compensation, there's continued frustration and a loss of faith in both BP and the Obama administration. Almost $4 billion has been paid out to those who lost business, but many view the process as confusing, unfair and far too slow.

Many questions also remain about the environmental damage. Most scientists agree it wasn't as severe as first thought, but the long-term effects of such a huge catastrophe will take years to unfold. The last of the fishing waters that were closed last year have finally been re-opened, but for the people of the Gulf states, the scars have far from healed.

BUMI, Saudara dan Sahabat Kita...

Isu Pemanasan Global tampaknya sudah menjadi isu yang begitu santer terdengar di telinga kita. Banyak kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat sudah fasih mengucapkannya. Lantas apa tindakan konkret kita? Bukankah baru saja bulan April 2011 ini kita memperingati hari Bumi? Hari Bumi dirayakan diberbagai belahan dunia dengan caranya masing-masing. Apapun itu, merupakan sebuah langkah untuk menjadikan Bumi semakin dihargai, bukan hanya sebagai sebuah tempat tinggal, melainkan saudara dan sahabat. Mari kita bersahabat dengan Bumi dan jadilah bagian dari orang yang tidak membuat air matanya mengalir karena kesakitan....

Salam Bumi, Pasti Lestari