Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Senin, 05 Desember 2011

Kebimbangan Menuju Pengelolaan Hutan Lestari

 Sudah menjadi sebuah rahasia umum, kondisi kehutanan Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Ibarat sebuah ungkapan, “Ketika pohon-pohon habis ditebang, manusia baru akan sadar, uang tidak bisa dimakan”. Kondisi kehutanan dirasakan semakin terpuruk dengan di cap nya hutan sebagai sumber dari berbagai bencana. Berbagi daerah di Indonesia, dari ujung barat hinga timur tidak luput dari bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan selusin bencana lain yang terus meningkat setiap tahunnya. 

Berkaca dari kondisi di atas, pertanyaan pun bermunculan. Bagaimana cara untuk memperbaiki kondisi kehutanan Indonesia yang sudah terlanjur rusak, dan siapa yang akan memegang bendera di posisi terdepan? Dua pertanyaan yang singkat, tetapi membutuhkan telaah pemikiran dan usaha yang keras untuk menjawabnya. 

Upaya perbaikan kehutanan mulai menemukan pangkalnya dengan bergulirnya isu sustainable development berkaitan dengan kelola hutan lestari (sustainable forest management=SFM) di dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED-Rio De Janeiro, 3-14 June 1992)-khususnya Rio Declaration on Environment and Development. Per definisi, Sustainable development is based on three criteria: environmental protection, social progress and economic development. Production and consumption methods must respect the human and natural environment to enable all the earth’s inhabitants to satisfy their basic needs (food, shelter, clothing, education, work, and live in a healthy environment) (Iskandar, Untung 2011).

Konsep kelola hutan lestari, selanjutnya nyaring terdengar di Indonesia, salah satunya dengan terbitnya PP No 34 tahun 2002 tentang kelola hutan lestari dengan poin penting, pemanfaatan hutan secara lestari wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolan hutan secara lestari yang diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan. Selanjutnya, menindaklanjuti PP tersebut, pada tanggal 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Peraturan ini mulai dilaksanakan pada  tanggal  1 September 2009.

Lebih jauh, mari kita berbicara terkait konsep dan realita. Konsep kelola hutan lestari ternyata belum sepenuhnya berjalan mulus, begitu banyak tantangan dan dinamika yang harus dihadapi.
Pertama,  semakin condong kepada politik dagang global (politc of global trading). Pasar global dengan leluasa memainkan percaturan konsep kelestarian kelola hutan Indonesia. Bahkan terasa kita lebih tunduk dengan kebijakan pasar global dibandingkan dengan kebijakan dalam negeri sendiri. Konsep kelestarian justru lebih mengarah pada penekanan kayu yang legal, bukan kepada hierarki kelestarian hutan itu sendiri. Seolah-olah  kita dipaksa mengikuti kemauan pasar global yang semakin lekat dengan neoliberalisme. Dan kembali lagi, kelestarian kelola hutan masih didominasi paradigma hutan adalah kayu. Lantas, apakah semakin bertambahnya jumlah kayu yang tersertifikasi, berarti semakin lestari hutan Indonesia?

Kedua, antara sertifikasi wajib dan sukarela. Saat ini kita melihat tantangan sertifikasi kelola hutan lestari semakin besar, terutama di sektor swasta. Di satu sisi harus mengikuti skema wajib Kelola Hutan Lestari versi Menteri Kehutanan-yang memberikan Izin Usaha, sedangkan disisi lain harus mendapatkan sertifikat berstandar internasional ketika ingin bersaing di pasar global. Hingga saat ini, sebut saja SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) belum sepenuhnya diakui di kancah internasional. Terutama berkaitan dengan semakin turunnya kepercayaan internasional terhadap pemerintah Indonesia. Apalagi kalau bukan soal korupsi, ketidakjujuran dan penyalahgunaan wewenang yang semakin masif. Dunia internasional lebih trust kepada sertifikasi yang berstandar internasional, sebut saja salah satunya FSC (Forest Stewardship Council) dengan kredibilitasnya. Dan kitapun harus mengakui, baru sedikit unit manajemen yang lolos sertifikasi sukarela, itupun unit-unit manajemen dengan dominasi kepemilikan pihak asing yang sangat “berambisi” menguasai pasar global. Sementara, bagaimana dengan unit-unit manajemen lokal, mampukah tetap survive di tengah jepitan gurita pasar global?

Ketiga, kompetisi SDM (Sumber Daya Manusia) Global. Dalam PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 secara secara tegas mengatur bahwa pengelolaan hutan harus ditangani oleh SDM profesional. Kompetensi profesional ditunjukkan oleh sertifikat yang diterbitan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pemerintah telah membentuk badan Nasional sertifikasi Profesi, dalam pelaksanaannya memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Sektoral (Kehutanan Indonesia) (Santoso, Harry 2011). 
Dan dengan masuknya Indonesia di dalam konsep kelestarian hutan dunia, berarti SDM kita (rimbawan) harus siap untuk berkompetisi dengan SDM asing. Dan hasilnya, tentusaja harus menang. Karena apabila tidak, konsep kelestarian hutan Indonesia akan semakin didominasi oleh pemikiran asing bukan kita sebagai “pemilik kedaulatan” dalam mengelola hutan Indonesia. Adanya agenda besar REDD – Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation yang diusulkan Indonesia ketika COP 13 – UNCCC di Bali dan ditindaklanjuti dengan Letter of Intent  dengan pemerintah Norway, di Oslo pada tanggal 10 Mei 2010 dengan tajuk “Cooperation on Reducing Green House Gas Emissions From Deforestation And Forest Degradation. Lebih lanjut, Indonesia mendapatkan puncak momentumnya ketika COP 15 Copenhagen UN Climate Change Conference digelar. Capaian tersebut memberikan “ujian” untuk melihat seberapa besar kemampuan SDM Indonesia (rimbawan) menjawab tantangan tersebut.

Keempat, mitos premium price. Bulan November lalu, baru saja diadakan Dialog Asia Forest Partnership (AFP) 2011 di Beijing. Seperti yang ditulis di situs web REDD-Indonesia: Produk-produk kayu bersertifikat legalitas sumber kayu untuk memenuhi standar Uni Eropa yang baru tidak akan selalu menghasilkan harga yang lebih tinggi bagi para produsen Asia yang berharap dapat mengimbangi kenaikan biaya produksi akibat persyaratan sertifikasi, demikian dikatakan oleh pejabat Uni Eropa, Hugh Speechly, Koordinator Tata Kelola dan Perdagangan Hutan di Departemen Pembangunan Internasional Inggris. Ditambah lagi, kondisi Eropa saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang sangat hebat sehingga semakin jauh konsistensi pasar dalam menghargai kayu dan produk kayu yang bersertifikat. Dan kondisi ini harusnya membuka mata kita, ketika yang dituju dari kelola hutan lestari hanyalah premium price pasar internasional, maka bersiap-siaplah menelan pil pahit, kelestarian kelola hutan yang hakiki akan semakin jauh panggang dari api.

Kelima, benang kusut klasik sektor kehutanan yang belum terurai. Sebelum bergerak terlalu jauh menuju konsep kelestarian hutan yang lebih dominan akan sertifikasi, kita masih melihat berbagai persoalan yang menghimpit kehutanan Indonesia belum terselesaikan. Kepastian status kawasan yang masih belem clear, posisi tawar kehutanan yang begitu rendah dengan  mudahnya alih fungsi kawasan hutan menjadi kebun dan tambang serta masih belum maksimalnya peran dan akses masyarakat terhadap pengelolaan dan pengusahaan hutan. Setumpuk persoalan yang sebenarnya harus terlebih dahulu diselesaikan, karena ketika berbicara mengenai kelestarian hutan harus benar-benar mencakup tiga pilar, yakni: ekonomi, sosial dan lingkungan. Hanya saja, hingga saat ini sepertinya baru pilar ekonomi yang menjadi “anak kesayangan”. Sedangkan yang lain mungkin baru sebatas anak angkat.

Berbagai tantangan dan dinamika diatas memperlihatkan, siapakah sosok “pembawa bendera” yang sebenarnya dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Rimbawan Indonesia saya rasa pantas dan bahkan harus berada di posisi paling depan untuk merealisasikannya. Mari kepalkan tangan sembari teriakkan: “Kami Rimbawan Indonesia, siap mewujudkan Kelestarian Hutan!” Dan saya optimis dengan itu, ketika akal dan moral berjalan seimbang dan beriringan.



*Anton Prasojo, Alumni  Fakultas Kehutanan UGM Angkatan 2006
Tulisan terinspirasi ketika menjadi Moderator dalam Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Lestari yang diadakan KMMH (Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan) Fakultas Kehutanan UGM di Yogyakarta,  3 Desember 2011


Kamis, 01 Desember 2011

G.A.L.A.U pasca WISUDA ?

Memasuki dunia baru, memang menjadi tantangan tersendiri dari perjalanan hidup kita. Kebetulan beberapa waktu lalu, diminta kawan-kawan KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan) UGM untuk berbicara dalam momen syukuran wisuda periode November 2011. Dan pagi ini, setelah pulang sholat shubuh di mushola, duduk dekat pintu yang mengadap ke timur, sambil mengamati Mas Anjar (tetanggaku penjual bubur ayam yang baik hati) ngasih makan ayam-ayamnya, kucoba menuliskan pendapat. Silakan, bisa dilanjutkan membacanya. Jangan lupa, dimulai dengan senyuman... :)

Satu tahun yang lalu, Alhamdulillah aku juga menjadi bagian dari mahasiswa yang merayakan momen syukuran itu. Dan sekarang, aku harus duduk, berbicara terkait masa pasca kampus kepada kawan-kawan seperjuangan, kakak angkatan dan juga adik angkatan. Dan biasanya yang duduk memberikan wejangan adalah para Bapak yang sudah puluhan tahun meninggalkan dunia kampus. Sedangkan aku, baru saja belum genap satu tahun lepas kampus.

Ingatan segarku menembus waku, tanggal 15 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB sidang skripsiku yang berjudul “Konduktivitas Panas Empat Jenis Kayu dalam Kondisi Kadar Air yang Berbeda” sedang “didadar”, hee… kayak telur aja… 

Dan bulan November 2010 jadwalnya bagi kami, tapi Allah berencana yang lebih baik. Erupsi Merapi menjadikan wisuda kami ditunda hingga bulan Februari 2011, tapi tak mengapa, impianku yang lain, “menikah” sebelum wisuda Alhamdulillah diberikan jalan kemudahan. Jadi ya… ketika wisuda, kalau yang lain dihadiri orang tua, asyiiik, sudah ada bidadari yang menemani dan menanti di bawah tangga Graha Sabha Pramana UGM sambil menggenggam setangkai mawar putih. Lebih tepatnya bidadariku tidak sendirian, sudah ada Chayra kecil yang berumur 2 bulan di rahimnya. Indahnya, semoga hamba tidak termasuk orang yang lalai akan berjuta nikmat Mu…

Eh, malah keterusan curhatnya. Harus dihentikan. Bisa kebuka semua kartunya As nya…back to right topic ! Stop romantisme wisuda… saatnya berkarya di dunia nyata!

Selepas hiruk pikuk dunia kampus, dimulailah perjuangan sebenarnya. Banyak kawan yang berbagi cerita kepada ku, dan akan kurangkai dalam satu bundel cerita. Kita semua yang belum atau sudah angkat koper dari kampus, akan benar-benar meninggalkan kampus yang kita cintai dengan begitu banyak kesenangan di dalamnya. Ada yang menemukan masa-masa jiwa aktivisnya meledak, jiwa sosialnya begitu menghujam atau masa-masa belajar tanpa beban ekonomi (bagi yang masih tega menengadahkan tangan kepada orang tua, hee). Dan kesemuanya itu akan ditinggalkan, atau lebih tepatnya “diuji” dengan kehidupan nyata. 

Banyak kawan yang kemudian mengalami masa-masa GALAU. Aku tidak tahu, dari mana istilah ini muncul dan apa artinya. Tetapi dikit-dikit kata ini muncul di berbagai status update Facebook atau Twitter. Semoga kita tidak termasuk dalam bagian jamaah Galau. Padahal GALAU juga mempunyai arti yang bagus juga, GALAU (God Always Listening AND Understanding), terlepas mana yang benar, heee.
Kali ini kita akan berdikusi pada sisi GALAU yang sering diomongi ABABIL. Apaan lagi tuh?? Berarti bisa digabung, ABG Labil GALAU  :)





Ujian Eksistensi Diri
Dunia pasca kampus justru sangat menantang untuk kita jalani, karena eksistensi kita akan diuji. 

Pertama, tidak usah terlalu takut melangkahkan kaki. Bekal yang harus kita miliki adalah “karakter diri”. Dimanapun kita berada, ketika karakter diri kita sudah kuat, pasti tidak akan terbawa arus dunia hedonisme yang dulu barangkali tidak kita temui di kampus. Dan beruntunglah bagi kawan-kawan yang ketika masa kuliah banyak mengikuti berbagai organisasi kampus. Disitulah karakter diri ditempa dan dicetak dengan sebaik mungkin. Muncul manajemen diri yang baik, tanggungjawab yang tinggi dan kepekaan sosial yang luas. 

Dan ingatlah, ketika sudah memasuki dunia kerja, jarang yang akan mengingatkan kita ketika sedang khilaf, kecuali diri kita yang mempunyai alarm untuk mendeteksinya. Tidak ada yang sering SMS tausiyah, atau SMS pengingat kalau yang kita lakukan kurang tepat, atau teguran langsung ketika kita sholat jamaah di masjid kampus terlambat. Semua mungkin akan menghilan kawan…

Kedua, ketika mulai bekerja harus menjaga “4 Keseimbangan Hidup”. Keseimbangan hidup itu adalah rohani, keluarga, pekerjaan dan sosial. Tidak dapat ditawar-tawar lagi lho ya.. Keempatnya harus dijaga keseimbangannya. Kondisi rohani harus dijaga sebaik mungkin. Sholat fardhu harus tetap dijaga, syukur bisa berjamaah. Puasa-puasa sunah bisa kita jadikan benteng untuk meredam berbagai macam nafsu ketika melihat gemerlap dunia luar. Dan lagi, rohani bisa dijaga dengan berkumpul dengan orang-orang sholeh. Bagi yang ketika mahasiswa bergabung di kelompok-kelompok ngaji (halaqoh), wajib dilanjutkan. Dan puji syukur, ketika bekerja kita dapat tetaap membina