Sudah menjadi sebuah rahasia umum, kondisi kehutanan Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Ibarat sebuah ungkapan, “Ketika pohon-pohon habis ditebang, manusia baru akan sadar, uang tidak bisa dimakan”. Kondisi kehutanan dirasakan semakin terpuruk dengan di cap nya hutan sebagai sumber dari berbagai bencana. Berbagi daerah di Indonesia, dari ujung barat hinga timur tidak luput dari bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan selusin bencana lain yang terus meningkat setiap tahunnya.
Berkaca dari kondisi di atas, pertanyaan pun bermunculan. Bagaimana cara untuk memperbaiki kondisi kehutanan Indonesia yang sudah terlanjur rusak, dan siapa yang akan memegang bendera di posisi terdepan? Dua pertanyaan yang singkat, tetapi membutuhkan telaah pemikiran dan usaha yang keras untuk menjawabnya.
Upaya perbaikan kehutanan mulai menemukan pangkalnya dengan bergulirnya isu sustainable development berkaitan dengan kelola hutan lestari (sustainable forest management=SFM) di dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED-Rio De Janeiro, 3-14 June 1992)-khususnya Rio Declaration on Environment and Development. Per definisi, Sustainable development is based on three criteria: environmental protection, social progress and economic development. Production and consumption methods must respect the human and natural environment to enable all the earth’s inhabitants to satisfy their basic needs (food, shelter, clothing, education, work, and live in a healthy environment) (Iskandar, Untung 2011).
Konsep kelola hutan lestari, selanjutnya nyaring terdengar di Indonesia, salah satunya dengan terbitnya PP No 34 tahun 2002 tentang kelola hutan lestari dengan poin penting, pemanfaatan hutan secara lestari wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolan hutan secara lestari yang diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan. Selanjutnya, menindaklanjuti PP tersebut, pada tanggal 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Peraturan ini mulai dilaksanakan pada tanggal 1 September 2009.
Lebih jauh, mari kita berbicara terkait konsep dan realita. Konsep kelola hutan lestari ternyata belum sepenuhnya berjalan mulus, begitu banyak tantangan dan dinamika yang harus dihadapi.
Pertama, semakin condong kepada politik dagang global (politc of global trading). Pasar global dengan leluasa memainkan percaturan konsep kelestarian kelola hutan Indonesia. Bahkan terasa kita lebih tunduk dengan kebijakan pasar global dibandingkan dengan kebijakan dalam negeri sendiri. Konsep kelestarian justru lebih mengarah pada penekanan kayu yang legal, bukan kepada hierarki kelestarian hutan itu sendiri. Seolah-olah kita dipaksa mengikuti kemauan pasar global yang semakin lekat dengan neoliberalisme. Dan kembali lagi, kelestarian kelola hutan masih didominasi paradigma hutan adalah kayu. Lantas, apakah semakin bertambahnya jumlah kayu yang tersertifikasi, berarti semakin lestari hutan Indonesia?
Kedua, antara sertifikasi wajib dan sukarela. Saat ini kita melihat tantangan sertifikasi kelola hutan lestari semakin besar, terutama di sektor swasta. Di satu sisi harus mengikuti skema wajib Kelola Hutan Lestari versi Menteri Kehutanan-yang memberikan Izin Usaha, sedangkan disisi lain harus mendapatkan sertifikat berstandar internasional ketika ingin bersaing di pasar global. Hingga saat ini, sebut saja SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) belum sepenuhnya diakui di kancah internasional. Terutama berkaitan dengan semakin turunnya kepercayaan internasional terhadap pemerintah Indonesia. Apalagi kalau bukan soal korupsi, ketidakjujuran dan penyalahgunaan wewenang yang semakin masif. Dunia internasional lebih trust kepada sertifikasi yang berstandar internasional, sebut saja salah satunya FSC (Forest Stewardship Council) dengan kredibilitasnya. Dan kitapun harus mengakui, baru sedikit unit manajemen yang lolos sertifikasi sukarela, itupun unit-unit manajemen dengan dominasi kepemilikan pihak asing yang sangat “berambisi” menguasai pasar global. Sementara, bagaimana dengan unit-unit manajemen lokal, mampukah tetap survive di tengah jepitan gurita pasar global?
Ketiga, kompetisi SDM (Sumber Daya Manusia) Global. Dalam PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 secara secara tegas mengatur bahwa pengelolaan hutan harus ditangani oleh SDM profesional. Kompetensi profesional ditunjukkan oleh sertifikat yang diterbitan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pemerintah telah membentuk badan Nasional sertifikasi Profesi, dalam pelaksanaannya memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Sektoral (Kehutanan Indonesia) (Santoso, Harry 2011).
Dan dengan masuknya Indonesia di dalam konsep kelestarian hutan dunia, berarti SDM kita (rimbawan) harus siap untuk berkompetisi dengan SDM asing. Dan hasilnya, tentusaja harus menang. Karena apabila tidak, konsep kelestarian hutan Indonesia akan semakin didominasi oleh pemikiran asing bukan kita sebagai “pemilik kedaulatan” dalam mengelola hutan Indonesia. Adanya agenda besar REDD – Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation yang diusulkan Indonesia ketika COP 13 – UNCCC di Bali dan ditindaklanjuti dengan Letter of Intent dengan pemerintah Norway, di Oslo pada tanggal 10 Mei 2010 dengan tajuk “Cooperation on Reducing Green House Gas Emissions From Deforestation And Forest Degradation”. Lebih lanjut, Indonesia mendapatkan puncak momentumnya ketika COP 15 Copenhagen UN Climate Change Conference digelar. Capaian tersebut memberikan “ujian” untuk melihat seberapa besar kemampuan SDM Indonesia (rimbawan) menjawab tantangan tersebut.
Keempat, mitos premium price. Bulan November lalu, baru saja diadakan Dialog Asia Forest Partnership (AFP) 2011 di Beijing. Seperti yang ditulis di situs web REDD-Indonesia: Produk-produk kayu bersertifikat legalitas sumber kayu untuk memenuhi standar Uni Eropa yang baru tidak akan selalu menghasilkan harga yang lebih tinggi bagi para produsen Asia yang berharap dapat mengimbangi kenaikan biaya produksi akibat persyaratan sertifikasi, demikian dikatakan oleh pejabat Uni Eropa, Hugh Speechly, Koordinator Tata Kelola dan Perdagangan Hutan di Departemen Pembangunan Internasional Inggris. Ditambah lagi, kondisi Eropa saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang sangat hebat sehingga semakin jauh konsistensi pasar dalam menghargai kayu dan produk kayu yang bersertifikat. Dan kondisi ini harusnya membuka mata kita, ketika yang dituju dari kelola hutan lestari hanyalah premium price pasar internasional, maka bersiap-siaplah menelan pil pahit, kelestarian kelola hutan yang hakiki akan semakin jauh panggang dari api.
Kelima, benang kusut klasik sektor kehutanan yang belum terurai. Sebelum bergerak terlalu jauh menuju konsep kelestarian hutan yang lebih dominan akan sertifikasi, kita masih melihat berbagai persoalan yang menghimpit kehutanan Indonesia belum terselesaikan. Kepastian status kawasan yang masih belem clear, posisi tawar kehutanan yang begitu rendah dengan mudahnya alih fungsi kawasan hutan menjadi kebun dan tambang serta masih belum maksimalnya peran dan akses masyarakat terhadap pengelolaan dan pengusahaan hutan. Setumpuk persoalan yang sebenarnya harus terlebih dahulu diselesaikan, karena ketika berbicara mengenai kelestarian hutan harus benar-benar mencakup tiga pilar, yakni: ekonomi, sosial dan lingkungan. Hanya saja, hingga saat ini sepertinya baru pilar ekonomi yang menjadi “anak kesayangan”. Sedangkan yang lain mungkin baru sebatas anak angkat.
Berbagai tantangan dan dinamika diatas memperlihatkan, siapakah sosok “pembawa bendera” yang sebenarnya dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Rimbawan Indonesia saya rasa pantas dan bahkan harus berada di posisi paling depan untuk merealisasikannya. Mari kepalkan tangan sembari teriakkan: “Kami Rimbawan Indonesia, siap mewujudkan Kelestarian Hutan!” Dan saya optimis dengan itu, ketika akal dan moral berjalan seimbang dan beriringan.
*Anton Prasojo, Alumni Fakultas Kehutanan UGM Angkatan 2006
Tulisan terinspirasi ketika menjadi Moderator dalam Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Lestari yang diadakan KMMH (Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan) Fakultas Kehutanan UGM di Yogyakarta, 3 Desember 2011
Mas Anton,sangat sepaham dengan tulisan ini.
BalasHapusSesungguhnya yang selama ini menjadi isu kita mengenai lingkungan, perubahan iklim, REDD, SVLK, MRV dan sebagainya, sebenarnya semua itu adalah obat untuk dampak dari gejala penyakit kronis kehutanan kita. Padahal penyakit kita sebenarnya adalah buruknya tata kelola hutan yang selama ini kita lakukan. Kalau kita mengelola hutan kita dalam suatu unit manajemen yang tertata sampai petak, lembaga pengelola yg kredibel serta rencana kelola yang baik, mau dibawa ke konteks lingkungan, SVLK, MRV, REDD+ atau apapun pasti secara otomatis akan masuk dalam skema2nya. Karena dalam tata kelola hutan yang benar pasti secara otomatis akan berdasarkan rencana kelola dan administrasi pengurusan hutan yang baik, sehingga akan selalu termonitor dan terverifikasi perubahan potensinya. SVLK (hasil kayu) dan REDD (karbon) hanyalah soal indikator di outputnya, jadi sesungguhnya tidak diperlukan lagi saat tata kelola hutan diterapkan dengan benar, karena semua itu sudah including di dalamnya. Bahkan sebenarnya suatu unit manajemen hutan yang memenuhi kriteria SVLK belum tentu sudah menerapkan tata kelola hutan yang benar. Karena SVLK lebih berorientasi hasil (yield) bukan proses atau manajemen-nya.
Jadi rimbawan Indonesia harus kembali ke khitah-nya, sehingga tidak gampang terombang-ambing isu yang dihembuskan oleh pihak diluar yang belum tentu lebih tahu soal pengelolaan hutan. Coba lihat kesibukan yang sekarang terjadi di lingkup birokrasi (Kemenhut), LSM Kehutanan ataupun pengusaha hutan, jarang atau sedikit sekali yang bermain di tugas yang seharusnya diemban rimbawan, yaitu mengelola hutan secara lestari.
Salam,
@moechfahada
Pak Firman, terimakasih sekali sudah bersedia berdiskusi dengan saya. Saya sangat sepakat dengan pendapat Pak Firman. Kebetulan Ada tanggapan lain yang masuk. Dari Pak Untung Iskandar. Kebetulan kemarin beliau menjadi salah satu pembicara dari Seminar tersebut. Karena cukup panjang, komentar beliau saya kirimkah ke Message Facebook. Semoga bisa melanjutkan diskusi kita.
BalasHapusPengelolaan dan pembangunan hutan dan kehutanan memang sudah menjadi rumit karena banyak pihak yang ingin ikut menentukan. Sebab mulanya adalah karena oknum2 dari semua instansi juga sudah merasakan "nikmatnya" hutan, baik yang diatas apalagi yang didalam tanah. Reformasi dan OTDA menambah carut-marutnya pengelolaan. Sebagai contoh adalah pembangunan Hutan Rakyat yang sekarang menjadi salah satu fokus pensejahteraan rakyat, ternyata berjalan lambat oleh belum sinkronnya penyediaan anggaran di Pusat dan di Daerah.
BalasHapusTetapi itu tidak boleh menjadi alasan kita kendur. Menurut saya yang penting ditangani adalah penataan-ulang tata-ruang, termasuk penetapan Hutan Adat, diikuti dengan pengukuhannya dengan memancang tanda batas permanen. Itu akan menjadi dasar dari gerakan pembangunannya selanjutnya. Agar kawasan hutan tidak selalu berubah maka Pemekaran Daerah juga perlu di moratorium, setidak-tidaknya selama 10 tahun.
Terimakasih Pak Wsal atas commentnya. Saya sepakat dengan apa yang Bapak kemukakan. Dan memang terkait tata kelola kawasan hutan memang hal yang harus menjadi prioritas sebelum agenda-agenda yang melangit lainnya. Salam,
BalasHapusMantap nih!
BalasHapusSekalian tolong di-Follback ya Mas!
salam kenal gan, saya tunggu kunjungan baliknya ya .:D
BalasHapus