Salam BUMI, Pasti LESTARI
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)
Jumat, 20 Mei 2011
Indonesia (tidak) Butuh Intelektual Pengecut
Pagi ini tidaksengaja bertemu dengan seorang yang “diburu” setelah pada akhir tahun 2009 menulis buku Membongkar Gurita Cikeas. Pertemuan kami tidaklah di tempat diskusi publik atau seminar, sekedar pertemuan di Utara Fakultas Kehutanan UGM, pinggir selokan Mataran tepatnya. Terlihat dari kejauhan orang berambut gondrong dengan brewok dan kumis yang mulai memutih. Sepintas seperti Goerge Junus Aditjondro, dan itu dia. Ternyata dia baru jalan pagi plus membeli lauk untuk sarapan paginya. Pertemuan pertama saya dengan Pak Goerge (pangggilan akrabnya) adalah tahun 2009 ketika asrama dimana saya tinggal (PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta) mengundangnya pada saat acara Latihan Gabungan peserta PPSDMS NF UGM-ITS. Pak George memang sudah lama mencuri perhatian para petinggi negeri ini. Mulai pemerintahan Soeharto hingga generasi SBY saat ini. Keberaniannya mengkritik Soeharto membuat dia harus “lari” dari Indonesia pada tahun 1995-2002. Dan tahun 1998 dirinya dicekal oleh Soeharto. Negara Australia menjadi lokasi “pelariannya”, sekaligus menjadi dosen Sosiologi di Newcastle University. Selepas Soeharto turun dari tahta, Goerge pulang ke tanah air. Keberaniannya menulis tidak pudar sedikitpun, terbukti dengan semakin banyaknya buku-buku yang ditulisnya. Buku-buku berjudul : Korban-korban Pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air (Pustaka Pelajar, 2003), Kebohongan-kebohongan Negara: Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara (Pustaka Pelajar, 2003), Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal (Pustaka Pelajar, 2003), dan Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, 2006) adalah buku-buku wujud kepedulian dan kekayaan intelektualitasnya.
Pagi tadi, dia banyak menyinggung “matinya” intelektualias di tataran mahasiswa dan masyarakat umumnya. “Kenapa setiap ada masalah dengan korupsi, entah itu zaman Soeharto, SBY, masalah Aceh, Papua, lingkungan hidup selalu harus saya yang menulis. Apa tidak ada penulis lain yang berani. Saya sendiri umur sudah hampir 65 tahun besok 27 Mei, apakah tidak ada orang lain yang peduli?” tuturnya dengan berapi-api.
Terus terang, saya merasa sangat tersentak. Apa yang dia sampaikan benar, ketika sekarang sangat banyak kaum intelektual muda, dimana setiap 3 bulan sekali mewisuda para mahasiswanya, tetapi justru kekayaan intelektual tersebut tidak diimbangi dengan semangat untuk menulis dan menegakkan kebenaran. Lebih lanjut lagi,di akhir obrolan singkat kami di pinggir mobil dan motor yang berseliweran dia berpesan: Banyak-banyaklah belajar, Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi Intelektual Pemberani, bukan Intelektual Pengecut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar