SOEMPAH PEMOEDA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA
INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA
INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Masih
ingatkah kita dengan detail isi teks Soempah Pemoeda di atas? Saya tidak akan
menghakimi, karena saya sendiri juga belum tentu mengucapkannya sekali dalam
setahun setelah lama lepas dari sekolah umum yang biasanya ketika upacara
bendera diminta mengucapkannya bersama-sama. Kalau mengucapkannya saja belum
tentu setahun dilakukan, apalagi menyimpan hafalannya. Dan saya pun bagian dari siswa yang
dulu menghafalnya dan sekarang harus mengingat-ingat atau bahkan searching di Google untuk memastikan
kebenaran detail isi teksnya. Terlepas dari itu semua, saya yakin dari kita
semua pasti paham mengenai makna dan semangat dari Soempah Pemoeda.
Sumpah
Pemuda, salah satu tonggak sejarah yang sangat penting 87 tahun silam. Sebuah
pintu gerbang yang dibuka oleh semangat para pemuda yang pada akhirnya
mendorong bangsa kita menuju kemerdekaan.
Sumpah
Pemuda, dihadiri oleh 90 pemuda istimewa dari seantero nusantara. Kita bisa
membayangkan, bagaimana para Panitia Kongres Pemoeda yang terdiri dari 9 diketuai oleh Soegondo Djojopoespito (PPPI) mampu mengumpulkan pemuda dalam
sebuah hajatan besar dengan segala keterbatasannya. Zaman itu belum ada group BB,
Facebook, Twitter, atau WA yang dengan mudah sebuah event dapat dishare ke
orang-orang yang bersangkutan lengkap dengan detail tempat, waktu, dan
konfirmasi kehadiran. Sehingga kita bisa membayangkan bagaimana kerja keras dan
totalitas para pemuda untuk menjadikan Kongres Pemoeda terlaksana.
Gambaran
di atas baru bagian dari hambatan sisi teknis berkomunikasi, belum lagi ditambah tekanan
pemerintahan Belanda yang mengangkangi bangsa kita ketika itu. Dan hal itu
terlihat jelas dengan kehadiran Van der Plaas dalam kongres, sebagai wakil dari
Pemerintahan Belanda dan mengawasi dengan ketat jalannya Konggres Pemoeda. Van
der Plaas adalah seorang pengawai sipil Belanda yang tersohor dan kemudian
mencapai puncak karir sebagai Gubernur Jawa Timur pada tahun 1936-1941. Akhir
kekuasaannya sebagai Gubernur Jawa Timur berakhir ketika Jepang mengalahkan
Belanda.
Meskipun
dengan berbagai tantangan tersebut akhirnya Kongres Pemoeda berhasil menghasilkan
Teks Soempah Pemoeda yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di
Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah. Dan
lokasi tersebut pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama
Sie Kong Liong.
Beranjak
dari sebuah sejarah monumental, mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan
sebagai pemuda masa kini. Kalau dahulu pencetus Soempah Pemoeda berjuang untuk
sebuah kemerdekaan, selanjutnya paska kemerdekaan kita berjuang untuk
mempertahankan dan mengisinya dengan pembangunan di segala bidang, lantas apa
yang seharusnya saat ini dilakukan oleh para pemuda?
Pertanyaan
yang sama juga pernah saya lontarkan kepada para mahasiswa bulan September lalu ketika saya diundang
untuk memberikan pelatihan dalam proses suksesi kepengurusan Lembaga Eksekutif
Mahasiswa (LEM) Fakultas Kehutanan UGM , “tempat kuliah” saya di luar kelas yang
telah memberikan banyak pembelajaran berharga.
Jawaban
dari mahasiswa beragam, dan ada satu jawaban yang saya sangat sependapat. Tugas
kita sebagai pemuda saat ini tidak hanya mengisi kemerdekaan atau sekedar
mempertahankannya, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk menjadikan Indonesia
sebagai Negara maju. Negara yang mempunyai tingkat perekonomian dan kehidupan
masyarakatnya sudah berada dalam tahap maju, atau dengan kata lain Negara yang
sudah mampu mandiri dan berpikir secara kreatif.
Negara
maju tidak lahir serta merta dengan berpangku tangan, tapi dengan sebuah proses
yang panjang diiringi kerja keras tanpa henti. Saya jadi ingat sebuah pepatah
dari salah Negara maju, Norwegia. "There
is never bad weather or too cold, Just dress properly" atau secara
sederhana kita artikan, “Tidak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanyalah
bagaimana kita berpakaian menyesuaikan cuaca”. Berdasarkan informasi dari situs
UNDP (United Nations Development
Programme) Negara yang beribukota di Oslo ini dinobatkan sebagai Negara paling
maju di dunia dengan Human Development
Index (HDI) mencapai 0,944, sementara Indonesia masih tertinggal jauh di
nomor 108.
Lantas,
apa yang membuat Norwegia begitu maju sementara kondisi iklimnya temperat, tidak
senyaman iklim di Negara kita. Bahkan, di bagian utara negara ini juga dikenal
sebagai Tanah Matahari Tengah Malam
karena terletak di ujung paling utara bumi, dimana ketika musim panas, matahari
tidak pernah tenggelam dan ketika musim dingin, matahari tidak pernah muncul
sama sekali.
Hal
utama yang membuat Norwegia begitu maju adalah tersedianya Sumber Daya Manusia
(SDM) yang unggul dan bermoral. Saya katakan tidak hanya unggul, tapi SDM
bermoral yang tercermin peringkat Negara berpenduduk 4,9 juta ini sebagai 5
besar Negara paling bersih (tidak ada korupsi).
SDM
yang unggul dan bermoral hanya bisa didapatkan dengan tempaan proses pendidikan
yang berkualitas. Pada bagian ini saya tidak ingin lebih jauh membahas siapa
yang paling bertanggung jawab untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas,
apakah pemerintah saat ini sudah memfasilitasi untuk itu atau belum. Saya lebih
tertarik untuk membahas apa yang bisa kita lakukan untuk meraih pendidikan yang
berkualitas daripada mempertanyakan kapan kita bisa mendapatkan pendidikan yang
berkualitas.
Upaya
untuk meraih pendidikan yang berkualitas menjadi tanggung jawab kita
masing-masing, terutama para pemuda Indonesia. Ketika mulai menanggalkan baju
putih dan celana panjang abu-abu dan bergabung dalam organisasi kemahasiswaan,
saya “dicekoi” bahwa pemuda adalah Iron
Stock-pemegang tongkat estafet generasi sebelumnya, Agent of Change-pembawa perubahan, dan Social Control-peka dan aktif dengan kondisi sosial masyarakat.
Kesemua
label besar tersebut tidak akan mampu dipikul oleh pemuda ketika tidak ada
semangat untuk meraih pendidikan berkualitas melalui peningkatan kapasitas diri
baik hardskill (akademik/teknis) maupun
softskill (non akademik). Banyak dari
pemuda yang terjebak untuk sekedar mengembangkan diri melalui alur pendidikan formal guna meraih gelar akademik, tetapi mengesampingkan
pengembangan diri yang bersifat non akademik seperti inisiatif, komitmen,
motivasi, kreativitas, komunikasi, berfikir kritis, mandiri, integritas diri dan masih banyak lagi.
Dan
semua hal yang berkaitan dengan softskill,
tidak bisa kita pasrahkan kepada pihak lain, melainkan tumbuh dari semangat dan
kemauan yang keras dari kita untuk mencapainya. Pelajaran-pelajaran formal di
ruang kelas tidak akan cukup untuk membekali kita sofskill yang mumpuni. Buka pintu, dan keluarlah, lihat betap
luasnya ruang belajar di luar kelas. Janganlah sekat-sekat padatnya kuliah atau
pelajaran sekolah lantas menghambat kita untuk belajar hal-hal yang jauh lebih
banyak di luar sana.
Salah
satu cara yang bisa kita lakukan adalah terlibat aktif diberbagai organisasi
atau gerakan sosial baik di dalam dan di luar institusi pendidikan. Keberadaan
kita di dalamnya akan mengkayakan softskill
dan mengasah kepekaan sosial. Tumbuhnya kepekaan sosial antara manusia yang
satu dengan lainnya akan menumbuhkan moralitas yang tinggi sebagai sesama
manusia.
Harapannya,
sinergitas antara hardskill dan softskill akan mampu membawa bangsa
tercinta ini untuk menjadi Negara maju dengan SDM yang unggul dan bermoral.
Kita pasti bisa!
Solo,
28 Oktober 2015