Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Jumat, 23 Agustus 2013

Satu Kaki Menginjak Masjid



Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Terdengar suara adzan Ashar ketika menyusuri jalan di kota Solo menuju Yogyakarta, selepas “mengamen” di kota yang terkenal dengan jargon “Spirit of Java” nya itu. Kulihat disebelah kiri jalan ada masjid sederhana, sumber suara adzan tadi. Mobilpun aku parkir dan buru-buru mengambil air wudhu. Setelah shalat sunah dan beberapa jamaah mulai berdatangan, iqomahpun dikumandangkan, suara muadzinnya persis dengan suara yang kudengar ketika adzan. Kulihat sepintas, dan berkata dalam hatiku, “Oh, ini yang adzan tadi ya...”.

Para jamaah mulai berdiri, merapatkan shaf. Mata ini ternyata tidak mau lepas dari sosok orang yang mengumandangkan iqomah tadi. Saat kami semua sudah siap sholat dengan shaf yang rapat, sang muadzin ternyata masih berada di samping kiri masjid. Dan pelan-pelan dia mulai mendekat ke sampingku, dan begitu terkejutnya aku ketika melihat, ternyata salah satu kakinya, kaki kirinya sudah tidak ada lagi. Mungkin karena kecelakaan atau cacat sejak lahir. Dia hanya mengandalkan kaki kanannya untuk berbaris dengan jamaah lainnya. Kaki kanannya yang tidak sepenuhnya kuat menyangga badan membuatnya harus shalat dengan duduk. Duduk tepat disampingku…
Terus terang, muka ini rasanya tertampar, hati merasa pilu. Dan selama shalat ternyata mata ini tidak kuasa untuk menahan air mata yang mulai memenuhi sisi kelopak mataku. Rasa kagum, malu dan juga syukur bercampur aduk jadi satu. 

Selepas shalat dan dzikir, aku perhatikan muadzin tadi, masih kusyuk dengan dzikir dan doanya. Dan ketika meninggalkan pintu masjid, aku melihat tongkat kaki bersandar di teras masjid yang kuyakini milik muadzin tadi. Aku teringat akan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang dapat kita temukan dalam Kitab Riyadush Shalihin, hadits no 1073. 

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, Telah datang kepada Nabi seorang laki laki buta, dia berkata, Wahai Rasulullah saya tidak memiliki penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Orang tadi memohon kepada Rasulullah agar memberi keringanan untuknya sehingga ia shalat di rumahnya, maka beliau pun memberikan izin untuknya. Tetapi tatkala orang itu mau pergi beliau memanggilnya dan bertanya, Apakah kamu mendengar adzan shalat.  Dia jawab, Ya. Beliau bersabda, Kalau begitu datangilah (panggilan shalat itu).
Dan hari itu, aku benar-benar belajar dari sang muadzin “pincang” tadi. Belajar akan pemahaman, ketaatan, keikhlasan dan kebersyukuran dalam beribadah dan menjalani hidup. Lantas kita, yang kakinya masih utuh, ketika ada panggilan shalat dari pengeras masjid, seringkali kedua kaki masih digunakan untuk berdiri menyibukan dengan urusan dunia yang tidah pernah ada ujungnya…

#Musafir masjid,
Waktu Ashar, 21 Agustus 2013.

Selasa, 20 Agustus 2013

Key Points of Successful Forest Certification





The real context of certification
Certification is an important tool for companies committed to improving the legality and sustainability of their operations, and to positive conservations outcomes. Legality and sustainable management are increasingly becoming necessary and more enforceable condition for access to key markets. This gives certification a new release for companies and a corresponding heightened promise of success as a way to improve biodiversity conservation in Indonesia tropical forest. Demand from the forest product industry for support to comply with certification is strong and growing.  


The main aspects that should be applied to achieve certification success
a. Improved forest management requires commitment 
The first step in achieving certification is to ensure that forest company owners and manager understand how their business will benefit. From this understanding comes a commitment to invest in improved forest management. Without this commitment, certification will be unable to produce lasting conservation outcomes. Commitment can also be developed through an initial focus on legal compliance. Exposure to designing, implementing and monitoring system to verify legality gives Forest Management Unit (FMU) managers the confidence to tackle more complex issues such as the social and environmental aspect. 

b. Institutionalization is the key to lasting results 
In order for the practices and system developed as part of a certification support program to last, they must be integrated in to short, medium and long-term operational strategies and business plans. To ensure the sustainability of good practice initiated by an FMU, it is critical that they be compatible with a company’s structure, operating systems and the specific nature of its business (e.g., what is being produced, for which market, etc.). This requires a comprehensive understanding of the FMU and what is possible, desirable, and/or appropriate. Developing and integrating operational and environmental standard operating procedure is one way to initiate this. Institutionalization of good practice is also helped by building awareness and skills among FMU management and staff and communities through their participation in High Conservation assessment.  

c. Good social relations make good conservation and business sense 
Developing good relations with the communities in and around concession areas is an important part of a comprehensive conservation strategy. Under the HCVF (High Conservation Value Forest) framework, FMUs must recognize communities’ basic and cultural need. Communities and FMU staffs can work together through the collaborative process of assessing HCVs, delineating HCV areas and developing management and monitoring plans, and developing new skills toward a common objective. Beyond meeting social requirements, this broad engagement and active participation by stakeholder is a requirement for effective concession-wide conservation. Conflict management support is often central to this effort and can ultimately reduce costs for business by ending demonstrations and improving a company’s public image.


Reference
Bleany A. 2010. “Certification in Indonesia: A Practitioner Perspective” ETFRN News 51 : 65-71.