Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Senin, 06 Juni 2011

Menjemput Musnahnya Hutan Lindung Indonesia


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Kamis, 19 Mei 2011 baru saja menerbitkan Perpres No 28 Tahun 2011. Perpres tersebut memberikan legitimasi untuk melakukan aktivitas tambang panas bumi (geothermal) di hutan lindung dan mengancam pemusnahan 11,4 juta hektar hutan lindung. Latarbelakang dari munculnya Perpres ini dimungkinkan karena lemahnya bargaining position sektor kehutanan yang tidak bisa meyakinkan pemerintah akan tingginya fungsi hutan lindung. Pemerintah lebih memilih untuk mengembangkan energi panas bumi sebagai alternatif pengganti BBM untuk bahan bakar pembangkit listrik daripada tetap menjaga fungsi utama dari hutan lindung tersebut.
Penelitian dari Kelompok Program Penelitian Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi pada tahun 2009 menunjukan bahwa jumlah lokasi panas bumi yang berpotensi mengalami tumpang tindih sebagian atau seluruhnya dengan kawasan hutan adalah sekitar 81 lokasi atau sekitar 30 % dari total lokasi panas bumi di Indonesia dengan potensi sekitar 12.000 MW. Dari sejumlah ini, sekitar 11 % ( 29 lokasi) berada di kawasan hutan konservasi dengan potensi sekitar 3400 MW dan sekitar 19 % (52 lokasi) berada di kawasan hutan lindung dengan potensi sekitar 8600 MW.
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan hutan lindung Indonesia apabila semua lokasi panas bumi tersebut benar-benar dibuka untuk pertambangan geothermal . Bagaimanapun bentuk pertambangan yang dilakukan, pertambangan tetap memberikan daya musnah luar biasa. Tidak hanya kerusakan permanen untuk ekosistem di lokasi penambangan, tetapi juga akan berdampak terhadap masyarakat. Apalagi yang dijadikan areal pertambangan adalah hutan lindung. Hutan lindung yang selama ini menjad benteng terakhir dari berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lain sebagainya. Akibat buruk yang tidak ternilai ini tampaknya luput dari pandangan pemerintah yang telah silau oleh tawaran keuntungan sesaat.
Perpres No. 28 Tahun 2011 sudah diterbitkan, tetapi pertanyaan besar yang muncul adalah pertimbangan teknis kebijakan tersebut. Perpres tersebut mengambil celah hukum atas UU No 41/1999 Tentang Kehutanan dimana tertuang pada pasal 38 sebagai berikut: (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung; (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan; (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka; (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kegiatan pertambangan sebenarnya mulai dibuka lebar ketika tahun 2008 keluar PP No.2 tahun 2008. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini akhirnya membuka lebar-lebar kegiatan pertambangan masuk ke dalam hutan lindung. Tarif sewa seharga Rp 300/m2 per tahun sangat murah dibandingkan kerusakan permanen dari aktivitas pertambangan tersebut. Kerugian dalam jumlah besar dibandingkan pendapatan dari kegiatan pertambangan sudah berkali-kali diterima sebagai pil pahit di berbagai daerah. Kabupaten Balai Karimun di Kepulauan Riau misalnya. Kabupaten ini hanya menerima pendapatan langsung Rp 4 miliar sampai Rp 5 miliar per tahun dari sektor tambang. Sementara kabupaten ini kehilangan Rp 8 miliar per tahun dari fungsi-fungsi hutan lindungnya (Hariadi, 2005).
Pertambangan geothermal dengan teknik pertambangan bawah tanah memang tidak disebutkan dalam UU No 41/1999, tetapi terkait tata ruang wilayah, pengelolaan kawasan hutan dan juga akibat dari kegiatan pertambangan sudah jelas (Hariadi, 2011). Dan lagi konflik-konflik yang akan muncul di lapangan pastilah akan semakin besar ketika tumpang tindih penggunaan kawasan hutan ini terus digalakkan. Sisi lain, Perpres No.28 tahun 2011 Memperlihatkan janji pemerintah pada UNFCC di Bali tahun 2007 dimana Indonesia berjanji menurunkan 26% emisi karbon pada tahun 2020 semakin jauh dari realisasi.
Perpres No 28 tahun 2011 harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terlebih lagi Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM. Kedua belah pihak, petambangan dan kehutanan harus duduk bersama untuk mencari solusi yang baik dan adil. Aktivitas pertambangan bawah tanah harus benar-benar dikawal ketat agar Perpres tersebut tidak hanya menjadi legitimasi untuk perusakan kelestarian hutan lindung oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal yang tidak kalah penting adalah koordinasi kedua Kementerian tersebut dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten adalah penertiban perusahaan pertambangan yang masuk kawasan kehutanan. Kementerian ESDM (2011), menyebutkan di Indonesia diperkirakan ada 8 ribu perusahaan pertambangan, tetapi baru 3 ribu yang mengkantongi izin. Oleh karena itu, penertiban perusahaan tambang merupakan hal yang sangat esensial untuk keberlanjutan hutan lindung Indonesia dari ancaman pemusnahan.

2 komentar:

  1. Halo mas anton.... Tulisan anda bagus kok. Pertambangan adalah salah satu perusak hutan lindung namun ada juga kerusakan yang lain yaitu pembukaan lahan seperti lahan kelapa sawit. Dan Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar. Saya dan teman-teman Pfauna yang terdiri dari teman-teman kalimantan, Ternate dll. tgl 3-5 Juni kemarin diskusi tentang hutan dan pengrusakannya. Dan amat disayangkan berapa banyak rantai kehidupan yang punah. Jadi selain pertambangan, kerusakan hutan berasal dari mental bangsa sendiri yng demi uang rela membuka lahan

    BalasHapus
  2. terimakasih sekali atas apresiasi dan komentarnya. Memang kerusakan di dunika kehutanan banyak didominasi "lemahnya moral" bangsa kita. Sistem yang bagus pun, ketika moral tidaklah kuat, akhirnya tidak berhasil juga. Mari, kita bersama-sama lebih mengangkat isu-isu seputar kehutanan dan lingkungan agar semakin banyak orang yang sadar dan peduli. Salam.

    BalasHapus