Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Rabu, 28 Oktober 2015

Menjaga Nyala Api "Soempah Pemoeda 1928"


SOEMPAH PEMOEDA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
 

Masih ingatkah kita dengan detail isi teks Soempah Pemoeda di atas? Saya tidak akan menghakimi, karena saya sendiri juga belum tentu mengucapkannya sekali dalam setahun setelah lama lepas dari sekolah umum yang biasanya ketika upacara bendera diminta mengucapkannya bersama-sama. Kalau mengucapkannya saja belum tentu setahun dilakukan, apalagi menyimpan hafalannya. Dan saya pun bagian dari siswa yang dulu menghafalnya dan sekarang harus mengingat-ingat atau bahkan searching di Google untuk memastikan kebenaran detail isi teksnya. Terlepas dari itu semua, saya yakin dari kita semua pasti paham mengenai makna dan semangat dari Soempah Pemoeda.

Sumpah Pemuda, salah satu tonggak sejarah yang sangat penting 87 tahun silam. Sebuah pintu gerbang yang dibuka oleh semangat para pemuda yang pada akhirnya mendorong bangsa kita menuju kemerdekaan.

Sumpah Pemuda, dihadiri oleh 90 pemuda istimewa dari seantero nusantara. Kita bisa membayangkan, bagaimana para Panitia Kongres Pemoeda yang terdiri dari 9 diketuai oleh Soegondo Djojopoespito (PPPI) mampu mengumpulkan pemuda dalam sebuah hajatan besar dengan segala keterbatasannya. Zaman itu belum ada group BB, Facebook, Twitter, atau WA yang dengan mudah sebuah event  dapat dishare ke orang-orang yang bersangkutan lengkap dengan detail tempat, waktu, dan konfirmasi kehadiran. Sehingga kita bisa membayangkan bagaimana kerja keras dan totalitas para pemuda untuk menjadikan Kongres Pemoeda terlaksana.

Gambaran di atas baru bagian dari hambatan sisi teknis berkomunikasi, belum lagi ditambah tekanan pemerintahan Belanda yang mengangkangi bangsa kita ketika itu. Dan hal itu terlihat jelas dengan kehadiran Van der Plaas dalam kongres, sebagai wakil dari Pemerintahan Belanda dan mengawasi dengan ketat jalannya Konggres Pemoeda. Van der Plaas adalah seorang pengawai sipil Belanda yang tersohor dan kemudian mencapai puncak karir sebagai Gubernur Jawa Timur pada tahun 1936-1941. Akhir kekuasaannya sebagai Gubernur Jawa Timur berakhir ketika Jepang mengalahkan Belanda.

Meskipun dengan berbagai tantangan tersebut akhirnya Kongres Pemoeda berhasil menghasilkan Teks Soempah Pemoeda yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah. Dan lokasi tersebut pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

Beranjak dari sebuah sejarah monumental, mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan sebagai pemuda masa kini. Kalau dahulu pencetus Soempah Pemoeda berjuang untuk sebuah kemerdekaan, selanjutnya paska kemerdekaan kita berjuang untuk mempertahankan dan mengisinya dengan pembangunan di segala bidang, lantas apa yang seharusnya saat ini dilakukan oleh para pemuda?

Pertanyaan yang sama juga pernah saya lontarkan kepada para mahasiswa bulan September lalu ketika saya diundang untuk memberikan pelatihan dalam proses suksesi kepengurusan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Kehutanan UGM , “tempat kuliah” saya di luar kelas yang telah memberikan banyak pembelajaran berharga.

Jawaban dari mahasiswa beragam, dan ada satu jawaban yang saya sangat sependapat. Tugas kita sebagai pemuda saat ini tidak hanya mengisi kemerdekaan atau sekedar mempertahankannya, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara maju. Negara yang mempunyai tingkat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya sudah berada dalam tahap maju, atau dengan kata lain Negara yang sudah mampu mandiri dan berpikir secara kreatif.

Negara maju tidak lahir serta merta dengan berpangku tangan, tapi dengan sebuah proses yang panjang diiringi kerja keras tanpa henti. Saya jadi ingat sebuah pepatah dari salah Negara maju, Norwegia. "There is never bad weather or too cold, Just dress properly" atau secara sederhana kita artikan, “Tidak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanyalah bagaimana kita berpakaian menyesuaikan cuaca”. Berdasarkan informasi dari situs UNDP (United Nations Development Programme) Negara yang beribukota di Oslo ini dinobatkan sebagai Negara paling maju di dunia dengan Human Development Index (HDI) mencapai 0,944, sementara Indonesia masih tertinggal jauh di nomor 108.

Lantas, apa yang membuat Norwegia begitu maju sementara kondisi iklimnya temperat, tidak senyaman iklim di Negara kita. Bahkan, di bagian utara negara ini juga dikenal sebagai Tanah Matahari Tengah Malam karena terletak di ujung paling utara bumi, dimana ketika musim panas, matahari tidak pernah tenggelam dan ketika musim dingin, matahari tidak pernah muncul sama sekali.

Hal utama yang membuat Norwegia begitu maju adalah tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan bermoral. Saya katakan tidak hanya unggul, tapi SDM bermoral yang tercermin peringkat Negara berpenduduk 4,9 juta ini sebagai 5 besar Negara paling bersih (tidak ada korupsi).

SDM yang unggul dan bermoral hanya bisa didapatkan dengan tempaan proses pendidikan yang berkualitas. Pada bagian ini saya tidak ingin lebih jauh membahas siapa yang paling bertanggung jawab untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas, apakah pemerintah saat ini sudah memfasilitasi untuk itu atau belum. Saya lebih tertarik untuk membahas apa yang bisa kita lakukan untuk meraih pendidikan yang berkualitas daripada mempertanyakan kapan kita bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Upaya untuk meraih pendidikan yang berkualitas menjadi tanggung jawab kita masing-masing, terutama para pemuda Indonesia. Ketika mulai menanggalkan baju putih dan celana panjang abu-abu dan bergabung dalam organisasi kemahasiswaan, saya “dicekoi” bahwa pemuda adalah Iron Stock-pemegang tongkat estafet generasi sebelumnya, Agent of Change-pembawa perubahan, dan Social Control-peka dan aktif dengan kondisi sosial masyarakat.

Kesemua label besar tersebut tidak akan mampu dipikul oleh pemuda ketika tidak ada semangat untuk meraih pendidikan berkualitas melalui peningkatan kapasitas diri baik hardskill (akademik/teknis) maupun softskill (non akademik). Banyak dari pemuda yang terjebak untuk sekedar mengembangkan diri melalui alur pendidikan  formal guna meraih gelar akademik, tetapi mengesampingkan pengembangan diri yang bersifat non akademik seperti inisiatif, komitmen,     motivasi, kreativitas, komunikasi, berfikir kritis, mandiri, integritas diri dan masih banyak lagi.

Dan semua hal yang berkaitan dengan softskill, tidak bisa kita pasrahkan kepada pihak lain, melainkan tumbuh dari semangat dan kemauan yang keras dari kita untuk mencapainya. Pelajaran-pelajaran formal di ruang kelas tidak akan cukup untuk membekali kita sofskill yang mumpuni. Buka pintu, dan keluarlah, lihat betap luasnya ruang belajar di luar kelas. Janganlah sekat-sekat padatnya kuliah atau pelajaran sekolah lantas menghambat kita untuk belajar hal-hal yang jauh lebih banyak di luar sana.

Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah terlibat aktif diberbagai organisasi atau gerakan sosial baik di dalam dan di luar institusi pendidikan. Keberadaan kita di dalamnya akan mengkayakan softskill dan mengasah kepekaan sosial. Tumbuhnya kepekaan sosial antara manusia yang satu dengan lainnya akan menumbuhkan moralitas yang tinggi sebagai sesama manusia.

Harapannya, sinergitas antara hardskill dan softskill akan mampu membawa bangsa tercinta ini untuk menjadi Negara maju dengan SDM yang unggul dan bermoral. Kita pasti bisa!

Solo, 28 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar