Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Rabu, 28 Oktober 2015

Menjaga Nyala Api "Soempah Pemoeda 1928"


SOEMPAH PEMOEDA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
 

Masih ingatkah kita dengan detail isi teks Soempah Pemoeda di atas? Saya tidak akan menghakimi, karena saya sendiri juga belum tentu mengucapkannya sekali dalam setahun setelah lama lepas dari sekolah umum yang biasanya ketika upacara bendera diminta mengucapkannya bersama-sama. Kalau mengucapkannya saja belum tentu setahun dilakukan, apalagi menyimpan hafalannya. Dan saya pun bagian dari siswa yang dulu menghafalnya dan sekarang harus mengingat-ingat atau bahkan searching di Google untuk memastikan kebenaran detail isi teksnya. Terlepas dari itu semua, saya yakin dari kita semua pasti paham mengenai makna dan semangat dari Soempah Pemoeda.

Sumpah Pemuda, salah satu tonggak sejarah yang sangat penting 87 tahun silam. Sebuah pintu gerbang yang dibuka oleh semangat para pemuda yang pada akhirnya mendorong bangsa kita menuju kemerdekaan.

Sumpah Pemuda, dihadiri oleh 90 pemuda istimewa dari seantero nusantara. Kita bisa membayangkan, bagaimana para Panitia Kongres Pemoeda yang terdiri dari 9 diketuai oleh Soegondo Djojopoespito (PPPI) mampu mengumpulkan pemuda dalam sebuah hajatan besar dengan segala keterbatasannya. Zaman itu belum ada group BB, Facebook, Twitter, atau WA yang dengan mudah sebuah event  dapat dishare ke orang-orang yang bersangkutan lengkap dengan detail tempat, waktu, dan konfirmasi kehadiran. Sehingga kita bisa membayangkan bagaimana kerja keras dan totalitas para pemuda untuk menjadikan Kongres Pemoeda terlaksana.

Gambaran di atas baru bagian dari hambatan sisi teknis berkomunikasi, belum lagi ditambah tekanan pemerintahan Belanda yang mengangkangi bangsa kita ketika itu. Dan hal itu terlihat jelas dengan kehadiran Van der Plaas dalam kongres, sebagai wakil dari Pemerintahan Belanda dan mengawasi dengan ketat jalannya Konggres Pemoeda. Van der Plaas adalah seorang pengawai sipil Belanda yang tersohor dan kemudian mencapai puncak karir sebagai Gubernur Jawa Timur pada tahun 1936-1941. Akhir kekuasaannya sebagai Gubernur Jawa Timur berakhir ketika Jepang mengalahkan Belanda.

Meskipun dengan berbagai tantangan tersebut akhirnya Kongres Pemoeda berhasil menghasilkan Teks Soempah Pemoeda yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah. Dan lokasi tersebut pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

Beranjak dari sebuah sejarah monumental, mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan sebagai pemuda masa kini. Kalau dahulu pencetus Soempah Pemoeda berjuang untuk sebuah kemerdekaan, selanjutnya paska kemerdekaan kita berjuang untuk mempertahankan dan mengisinya dengan pembangunan di segala bidang, lantas apa yang seharusnya saat ini dilakukan oleh para pemuda?

Pertanyaan yang sama juga pernah saya lontarkan kepada para mahasiswa bulan September lalu ketika saya diundang untuk memberikan pelatihan dalam proses suksesi kepengurusan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Kehutanan UGM , “tempat kuliah” saya di luar kelas yang telah memberikan banyak pembelajaran berharga.

Jawaban dari mahasiswa beragam, dan ada satu jawaban yang saya sangat sependapat. Tugas kita sebagai pemuda saat ini tidak hanya mengisi kemerdekaan atau sekedar mempertahankannya, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara maju. Negara yang mempunyai tingkat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya sudah berada dalam tahap maju, atau dengan kata lain Negara yang sudah mampu mandiri dan berpikir secara kreatif.

Negara maju tidak lahir serta merta dengan berpangku tangan, tapi dengan sebuah proses yang panjang diiringi kerja keras tanpa henti. Saya jadi ingat sebuah pepatah dari salah Negara maju, Norwegia. "There is never bad weather or too cold, Just dress properly" atau secara sederhana kita artikan, “Tidak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanyalah bagaimana kita berpakaian menyesuaikan cuaca”. Berdasarkan informasi dari situs UNDP (United Nations Development Programme) Negara yang beribukota di Oslo ini dinobatkan sebagai Negara paling maju di dunia dengan Human Development Index (HDI) mencapai 0,944, sementara Indonesia masih tertinggal jauh di nomor 108.

Lantas, apa yang membuat Norwegia begitu maju sementara kondisi iklimnya temperat, tidak senyaman iklim di Negara kita. Bahkan, di bagian utara negara ini juga dikenal sebagai Tanah Matahari Tengah Malam karena terletak di ujung paling utara bumi, dimana ketika musim panas, matahari tidak pernah tenggelam dan ketika musim dingin, matahari tidak pernah muncul sama sekali.

Hal utama yang membuat Norwegia begitu maju adalah tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan bermoral. Saya katakan tidak hanya unggul, tapi SDM bermoral yang tercermin peringkat Negara berpenduduk 4,9 juta ini sebagai 5 besar Negara paling bersih (tidak ada korupsi).

SDM yang unggul dan bermoral hanya bisa didapatkan dengan tempaan proses pendidikan yang berkualitas. Pada bagian ini saya tidak ingin lebih jauh membahas siapa yang paling bertanggung jawab untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas, apakah pemerintah saat ini sudah memfasilitasi untuk itu atau belum. Saya lebih tertarik untuk membahas apa yang bisa kita lakukan untuk meraih pendidikan yang berkualitas daripada mempertanyakan kapan kita bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Upaya untuk meraih pendidikan yang berkualitas menjadi tanggung jawab kita masing-masing, terutama para pemuda Indonesia. Ketika mulai menanggalkan baju putih dan celana panjang abu-abu dan bergabung dalam organisasi kemahasiswaan, saya “dicekoi” bahwa pemuda adalah Iron Stock-pemegang tongkat estafet generasi sebelumnya, Agent of Change-pembawa perubahan, dan Social Control-peka dan aktif dengan kondisi sosial masyarakat.

Kesemua label besar tersebut tidak akan mampu dipikul oleh pemuda ketika tidak ada semangat untuk meraih pendidikan berkualitas melalui peningkatan kapasitas diri baik hardskill (akademik/teknis) maupun softskill (non akademik). Banyak dari pemuda yang terjebak untuk sekedar mengembangkan diri melalui alur pendidikan  formal guna meraih gelar akademik, tetapi mengesampingkan pengembangan diri yang bersifat non akademik seperti inisiatif, komitmen,     motivasi, kreativitas, komunikasi, berfikir kritis, mandiri, integritas diri dan masih banyak lagi.

Dan semua hal yang berkaitan dengan softskill, tidak bisa kita pasrahkan kepada pihak lain, melainkan tumbuh dari semangat dan kemauan yang keras dari kita untuk mencapainya. Pelajaran-pelajaran formal di ruang kelas tidak akan cukup untuk membekali kita sofskill yang mumpuni. Buka pintu, dan keluarlah, lihat betap luasnya ruang belajar di luar kelas. Janganlah sekat-sekat padatnya kuliah atau pelajaran sekolah lantas menghambat kita untuk belajar hal-hal yang jauh lebih banyak di luar sana.

Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah terlibat aktif diberbagai organisasi atau gerakan sosial baik di dalam dan di luar institusi pendidikan. Keberadaan kita di dalamnya akan mengkayakan softskill dan mengasah kepekaan sosial. Tumbuhnya kepekaan sosial antara manusia yang satu dengan lainnya akan menumbuhkan moralitas yang tinggi sebagai sesama manusia.

Harapannya, sinergitas antara hardskill dan softskill akan mampu membawa bangsa tercinta ini untuk menjadi Negara maju dengan SDM yang unggul dan bermoral. Kita pasti bisa!

Solo, 28 Oktober 2015

Sabtu, 24 Oktober 2015

Manusia Berlabel Si Kaya dan Si Miskin


Minggu sore pertengahan Oktober, di sela-sela waktu membantu istri menjaga “lapak ” produk jilbab kaos andalan kami (www.jilbamazaya.com) di pamerah produk UKM dan Koperasi se-Indonesia di Jogja Expo Centre, aku dan anak-anak mengunjungi panti asuhan La Tahzan. Panti asuhan ini adalah salah satu dari 4 panti asuhan binaan gerakan amal kolektif Taman Karunia (www.tamankarunia.org), dimana saat ini Taman Karunia sudah berusia hampir 4 tahun.
Panti asuhan yang berlokasi di Bantul, Yogyakarta ini membina sekitar 30 anak yatim, piatu dan dhuafa yang kesemuanya bersekolah setingkat MAN. Panti asuhan ini tidak hanya tempat singgah, melainkan juga pesantren yang membekali santrinya dengan berbagi pengetahuan dan hafalan Al-Quran.
Taman Karunia hadir dipanti asuhan tersebut untuk memberikan dukungan biaya pendidikan bagi anak-anak yang bersekolah di Man Lab UIN sekaligus memberikan training pengembangan diri yang dilaksanakan setiap bulannya. Training tersebut kami harapkan mampu memberikan bekal pengetahuan dan wawasan bagi adek-adek kami di masa yang akan datang.
Pada kesempatan diskusi bulan ini, ada pertanyaan menarik dari salah satu santri. “Siapa sebenarnya Si Kaya dan Si Miskin?”.
Jawaban singkatku akan pertanyaan ini dapat ditemukan pada bagian akhir tulisan ini, tetapi sebelumnya mari coba kita baca uraian perenungannya.
Kalau pertanyaan yang sama ditujukan kepada kita, lantas seperti apa jawabannya. Bisa jadi, mayoritas dari kita akan menjawab Si Kaya adalah orang yang mempunyai mobil mewah, rumah megah, simpanan tabungan berlimpah, jabatan tinggi, dan sederet tampilan kemewahan lainnya. Dan sebaliknya, Si Miskin adalah orang dengan kondisi sebaliknya, rumah reot, mobil tak ada, jadi jongos dimana-mana, makan senin dan kamis, galian hutang dalam mencekam dan setumpuk gambaran penderitaan hidup di dunia.
Sebenarnya, dari manakah label Si Kaya dan Si Miskin berasal? Ada satu hal utama yang melatarbelakangi manusia dikatakan kaya atau miskin, yakni, penilaian orang lain. Orang memberikan penilaian berdasarkan kemewahan yang tampak dan melekat pada dirinya. Dan apa yang terjadi saat ini, dimana banyak orang berlomba untuk meraih predikat sebagai orang kaya, bisa jadi hanya sebatas mengejar penilaian orang atas dirinya, bukan menjadikan kekayaan sebagai jembatan untuk menolong sesama dan mendekatkan diri kepadaNya.
Lantas, sebenarnya apa yang terjadi dengan orang yang berlomba-lomba menimbun kekayaan sementara hatinya tidak pernah puas? Itu semua karena hilangnya rasa syukur terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT. Hal yang dirasakannya hanya kekurangan, kekurangan dan kekurangan.
Pada akhirnya dia akan tetap melakukan berbagai cara untuk memuaskan diri dengan tambahan kekayaannya, tetapi jangan dikira dengan semakin kaya pasti akan semakin bahagia. Sebuah cerita sedih datang kepada aku ketika ada sepasang suami istri begitu bahagia ketika awal-awal janji suci diucapkan dengan segala keterbatasannya. Akan tetapi, begitu kesuksesan digapai dan harta tercukupi, justru kebahagiannya terasa hilang sirna seutuhnya. Ya, sebagian orang bisa dengan mudah melewati kemiskinan, tetapi sulit lulus dari ujian keberlimpahan.
Di sisi lain, sebagian dari kita pasti pernah mendengar orang berceloteh, “ Enak yang jadi orang kaya, bisa ini, bisa itu dengan mudah!” Eits, jangan salah kita tidak pernah tahu apakah kekayaan yang diraihnya apakah dirihoi oleh Allah SWT atau tidak. Indikatornya sederhana, apakah kekayaan tersebut membawa keberkahan dalam hidup atau sebaliknya menjerumuskan.
Kita perlu mengingat kembali, ada dua cara Allah memberikan rizki harta kepada manusia. Pertama diberikannya secara baik dengan jalan dari hasil keringat yang menetes untuk pekerjaan-pekerjaan yang lurus. Dan yang kedua, diberikan dengan dilempar ke mukanya sebagai “upah” dan membuatnya semakin tenggelam dalam keberlimpahan yang semu.
Dan jawaban singkatku mengenai siapa Si Kaya dan Si Miskin merujuk pada Hadits Riwayat Bukhori No. 6081 dan Muslim No. 1051, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati).” Ada ungkapan lain juga yang menyebutkan bahwa Si Kaya adalah orang yang sibuk membagi-bagikan hartanya untuk menolong orang lain, sementara Si Miskin adalah orang yang sibuk mengumpulkan untuk dirinya sendiri.
 
Perjalanan udara Yogyakarta-Surabaya
22 Oktober 2015
 

Sabtu, 10 Oktober 2015

Dahlan Iskan Tak Berhenti "Berulah"

Selepas shalat shubuh di masjid dan pamitan dengan istri beserta anak-anak, akupun bergegas menuju bandara Adisucipto. Hari ini ada pekerjaan untuk menilai penerapan Wood Control System di salah satu industri perkayuan terbesar di Gresik. Di ruang tunggu bandara, tampak dari kejauhan sosok yang tidak asing. Dia terlihat sedang asik bercakap-cakap dengan orang yang duduk di sampingnya. Tampak senyum lebar dan keramahan yang dibalut setelan kemeja biru muda yang serasi dengan celana panjang biru tuanya.  Dan tidak ketinggalan kacamata serta sepatu kets hitam dengan sol putih yang identik dengannya.

Tak lama kemudian, terdengarlah panggilan boarding untuk penerbangan tujuan Surabaya. Aku lihat dia mulai berdiri dan beranjak dari tempat duduknya menuju Gate 1. Ternyata kami satu rute penerbangan ke Surabaya. Aku berdiri tepat di depan gate untuk mengucapkan salam dan membuka obrolan, “Apa kesibukannya selepas tidak menjadi pejabat Pak? “Menanam kaliandra merah Mas”, balasnya dengan penuh semangat. Tanaman kaliandra merah terdengar tidak asing bagiku dan akupun memberikan beberapa komentar singkat mengenai tanaman tersebut.

Selepas melewati gate, aku bertanya singkat, “Bapak duduk di kursi mana?”. “1 C Mas, padahal saya lebih suka duduk di belakang” , ungkapnya. “Kalau saya 9 C Pak”, balasku. “Ok, kita masuk yang terakhir saja ke pesawat dan duduk bareng di bangku belakang”, ajaknya. Akupun berpikir, mungkin Bapak ini ingin mengobrol lebih lanjut mengenai kaliandra merah.

Kami pun akhirnya duduk bersama dan obrolan renyah semakin mengalir ramah apalagi kalau bukan mengenai kaliandra merah. Bagi yang belum familiar dengan tanaman ini, kaliandra merah  (Calliandra calothyrsus) merupakan bagian dari familia Leguminosea  dan sub familia Mimosaceae yang berbentuk perdu (semak) dengan ciri batang berkayu dan bertajuk lebat. Tanaman ini banyak ditemukan di Jawa dan dimanfaatkan daunnya sebagai hijauan pakan ternak.

Dan temanku ngobrol pagi itu, Pak Dahlan, begitu aku memanggilnya, saat in sedang banyak menanam kaliandra merah di beberapa lokasi terpencil di Indonesia. Lokasi-lokasi tersebut antara lain, Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, Ambalut Kaltim, Tambora NTB, Enggano Bengkulu, Bolang Mangodow Sulawesi, Obi Maluku, Singkep Riau, dan beberapa lokasi lainnya yang total luasnya mencapai ribuan hektar.

Ketertarikannya menanam kaliandra merah didasari semangat untuk mengalirkan listrik di daerah-daerah terpencil dengan berbasis kemandirian masyarakat lokal. Masyarakat diajak bergerak bersama untuk menciptakan sebuah perubahan melalui kegiatan Sosiopreneur Demi Indonesia (SDI) yang digagas oleh Pak Dahlan awal tahun 2015. “Semangat saya sederhana, saya ingin melihat daerah-daerah terpencil di Indonesia bisa menikmati listrik seperti layaknya kita yang ada di Jawa. Mereka tidak perlu menggantungkan sumber bahan baku fosil untuk menghidupkan genset di kampung-kampung. Dan harapannya kegiatan sosial yang dikelola secara entrepreneur mampu menjadi salah satu solusinya”, ungkap mantan Dirut PLN.

Kecintaannya pada dunia energi dan kelistrikan yang ia perlihatkan ketika menjadi orang nomor satu di PLN, kini pun tampak pada usahanya membangun kemandirian energi listrik berbasis biomassa dari tanaman kaliandra merah. Tanaman ini sengaja dipilih oleh Pak Dahlan karena memiliki kandungan energi yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian yang ada, energi yang dihasilkan tanaman kaliandara merah mencapai 4,700 Kkal/kg dan arangnya mampu menghasilkan energi 7,200 Kkal/kg. Energi tersebut tidak kalah dengan hasil pembakaran batu bara yang berkisar 3,700-5,000 Kkal/kg. Lebih lanjut, menurutnya kaliandra merah seluas 200 Ha akan mampu menghasilkan energi listrik sebesar 2 MW.

Sebagai tanaman energi, kaliandra merah sudah bisa dipanen mulai umur satu tahun selepas penanaman. Dan akan tetap bisa dipanen hingga usia 20 tahun tanpa menanamnya kembali.
Selain karena hasil energinya, tanaman kaliandra sengaja dipilih oleh Mantan Mantan Menteri BUMN tersebut karena memiliki sifat yang mudah tumbuh di berbagai tempat baik dataran rendah maupun tinggi. Kemapuan akarnya yang bagus dalam mengikat Nitrogen menjadikannya tanaman dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi meskipun dengan kondisi tanah miskin unsur hara, seperti lahan bekas pertambangan atau lahan marginal lainnya.

Tanaman ini juga tidak memerlukan perlakuan yang khusus dan sulit baik pada saat pembenihan, penanaman dan pemeliharannya. Lebih lanjut, tanaman berbunga merah indah ini juga memiliki  potensi ekonomi yang menjanjikan bagi masyarakat. Bunga kaliandra merah merupakan salah satu sumber nektar favorit lebah madu. Masyarakat yang menanam kaliandra merah juga dapat beternak lebah madu. Hasilnya berupa madu kalindra, biasa kita menyebutnya, harganya sudah cukup tinggi di pasaran. Saat ini harga madu kaliandra bisa mencapai Rp. 120,000 per botolnya nya. Dengan demikian, akan tercipta suatu multiple benefit dari menanam kaliandra merah. Selain tujuan utamanya sebagai kayu energi, keberadaannya akan menyuburkan tanah dan memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat dari manisnya madu kaliandra.

Usaha yang saat ini digeluti Dahlan Iskan juga tidak semua berjalan semulus yang direncanakan. Memang setiap pekerjaan besar, pasti ada tantangan besar yang menghadang. Dia sempat mengalami kegagalan dalam penanaman Kaliandra Merah di Tambora karena beberapa kendala, tetapi hal itu tidak membuatnya patah arang dan berhenti untuk terus mencoba. Gagasan besar akan terwujudnya kemandirian energi bersumber dari kaliandra merah dilakukannya secara mandiri. Ketika saya tanyakan, mengapa tidak mengajak para investor besar untuk bekerjasama? "Sebenarnya sudah banyak para investor yang tertarik bekerjsama untuk menjadikannya bisnis profit yang berskala besar. Tetapi saya ingin ini tetap menjadi sosiopreneur dan saya ingin membuktikan terlebih dahulu bahwa usaha mandiri ini benar-benar berhasil" tegasnya.

Karena aku pernah memiliki sedikit pengalaman terkait kayu energi, aku sampaikan bahwa ada jenis tanaman selain kaliandra merah yang bisa digunakan untuk sumber energi. Tanaman ini banyak tumbuh di kawasan lereng Gunung Merapi dan termasuk salah satu jenis tanaman perintis. Ketika erupsi Gunung Merapi 2010, tanaman jenis ini sempat habis terbakar, tetapi selang beberapa bulan, datangnya musim hujan memberikan berkah pada tanaman ini untuk muncul kembali dan tumbuh dengan lebih subur. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi banyak memanfaatkannya sebagai bahan baku arang. Kualitas arangnya cukup baik sehingga banyak pengusahan gudeg di Jogja memanfaaatkannya sebagai bahan bakar. Pak Dahlan terlihat tertarik dengan jenis tanaman ini. Aku sampaikan, “Silahkan kapan Bapak ada waktu ke Jogja lagi saya antar melihat tanamannya dan proses pembuatan arangnya”, ajakku. "Ok Mas Anton, no HP nya berapa ya biar saya simpan", balasnya sambil mengeluarkan Hp dari tas di bawah kursi pesawat.

Tidak lama kemudian terdengan suara pilot yang menginformasikan bahwa pesawat bersiap untuk mendarat. Kamipun turun dari pesawat dan tetap masih asyik mengobrol. Pak Dahlan tampak sangat welcome dan bersikap hangat terhadap semua orang yang ditemuinya. Bahkan ada kejadian unik yang aku amati ketika kami naik bus transit selepas turun dari pesawat menuju terminal. Ada salah satu penumpang yang berdiri di dekat Pak Dahlan. Karena tidak mendapatkan pegangan ketika bus sudah mulai berjalan, dengan ramah Pak Dahlan menawarkan orang tersebut untuk berpegangan pada tangannya. Dan akhirnya mulai dari bus berjalan hingga berhenti di terminal kedatangan, orang tersebut terus menggandeng tangan Pak Dahlan.
Kiriman foto dari Pak Dahlan Iskan

Tidak hanya itu, beberapa kali para penumpang dan petugas bandara juga mengajaknya untuk berfoto bersama. Dan sepanjang perjalanan higga pintu keluar banyak orang yang menyapanya dengan senyum lebar dan rasa hormat. Kamipun bersiap untuk berpisah, sambil berjabat tangan aku sampaikan, "Pak Dahlan, inilah perbedaan antara pejabat dan orang besar. Seorang pejabat mungkin tidak lagi dihormati dan disanjung selepas jabatannya hilang. Akan tetapi orang besar seperti Bapak, akan selamanya dihormati!”

Dan akhirnya kamipun berpisah, tidak lama kemudian HP ku berbunyi, ada SMS masuk dan ternyata dari Pak Dahlan. Berselang sebentar, masuk juga kiriman gambar di WA dari Pak Dahlan berupa foto selfie bersama hasil jepretan kameranya.
SMS dari Pak Dahlan Iskan
 
Itulah Pak Dahlan Iskan, yang tidak pernah berhenti untuk “berulah” demi cita-citanya untuk menghadirkan cahaya penghapus kegelapan.

 Surabaya, 8 Oktober 2015.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Membungkus Warisan Melalui Tulisan


Manusia yang hidup saat ini tidak lepas dari warisan pengetahuan, pengalaman dan ide dari generasi manusia sebelumnya. Warisan tersebut salah satunya berbentuk karya tulisan yang dengan detail menggambarkan kehidupan manusia generasi sebelumnya. Ya, karya berbentuk tulisan dinilai cukup langgeng untuk membungkus warisan tersebut. Berbagai tulisan dari penulis ternama lintas generasi berabad-abad lalu masih bisa kita nikmati karena kekuatan penyampaiannya melalui tulisan.

Generasi manusia saat ini pun aku kira harus sebanyak mungkin meninggalkan warisan berbentuk tulisan agar generasi setelah kita bisa banyak belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tugas menjaga warisan pengalaman dan pengetahuan bukanlah menjadi tugas para penulis ternama semata. Kita pun sebagai orang yang sama sekali tidak berprofesi sebagai penulis hendaknya juga melakukan hal yang sama. Menuliskan setiap lembar pengalaman hidup dan bisa menjadi pelajaran atau setidaknya informasi  yang berguna.

Hanya saja, setiap orang mungkin lebih mudah berbicara daripada menulis. Dan itupun terjadi denganku. Aku lebih suka berbicara dan berdiskusi dengan keluarga maupun teman untuk berbagai topik, mulai dari topic yang seringan kerupuk hingga seberat batu. Tetapi kembali lagi, butuh niatan yang kuat untuk mengubah hasil obrolan tersebut menjadi sebuah tulisan. Apalagi, aku bukan tipe orang yang terbiasa menggoreskan setiap kegundahan hati di buku “diary” seperti sebagian teman-teman lainnya. Alhasil dibutuhkan sebuah niat dan konsistensi untuk mewujudkannya.

Sebuah media “blog” yang aku pilih untuk menampung pengalaman dan ide aku ternyata sudah lama tak tersentuh. Dan untungnya tidak ada “expired”dalam blogspot ketika lama tidak dibuka. Dan hari ini aku menyempatkan, dan sebaikanya memang menyempatkan, buka menunggu waktu luang untuk kembali menulis.

Aku menyempatkan membawa si orange (panggilan laptop kesayanganku) ketika mengantar anak-anak cewekku (Chayara (4 tahun) dan Aisy (2,5 tahun) sekolah di TK dekat rumah. Kebetulan TK nya bersampingan dengan masjid, jadi aku bisa memanfaatkannya untuk menulis tulisan ini. Hari Sabtu dan Minggu adalah “father days” untuk aku dan anak-anak. Selama dua hari dalam seminggu, anak-anak berada dalam kekuasaanku; mulai dari urusan mandi, nyebokin, memasak sarapan hingga mengantar sekolah, ngajakin main, ngelonin bobok siang sudah menjadi tugasku. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga, melihat tumbuh kembang anakku karena terlalu sibuk di luar rumah. Dan anakku pun terlihat begitu senang dan menikmati “father days” kami.

Oh… terdengar dari dalam ruang kelas anakku lantunan doa menjelang pulang dan akhirnya aku cukupkan sementara tulisan ini. Dan semoga bisa berlanjut secara konsisten dengan tulisan-tulisan selanjutnya. See you all…. J