Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Selasa, 15 September 2009

Layakkah Departemen Kehutanan dibubarkan?

Pertanyaan ini menjadi tema diskusi perdana pada kepengurusan Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM periode 2009/2010. Tema yang diangkat sempat menggemparkan Fakultas Kehutanan. Semuanya bertanya, “Apa benar Dephut akan dibubarkan?” “Dimana kita akan kerja nantinya?” celotehan terkejut mahasiswa kehutanan. Paling tidak tema yang dihadirkan memeliki marketisasi yang baik. Sehingga tidak heran 40 an mahasiswa bersedia dengan antusias mengkuti diskusi tersebut. Pembicara yang hadir sengaja kita sparing kan antara LSM Walhi dengan Dephut Wilayah Yogyakarta. Walhi di wakili oleh Kibu dan Dephut oleh Ir. Ayu M.Sc. Keduanya memberikan materi yang cukup baik. Tidak heran setelah keduanya menyampaikan materi banyak peserta diskusi yang mengajungkan tangan untuk diskusi. Sebagian besar menanyakan keseriusan dan informasi akan adanya rencana pembubaran Dephut. Mungkin lebih tepatnya penggabungan departemen. Apabila kita melihata UU No 38 2009. Dijelaskan lebih lanjut bagaimana di Indonesia hanya ada 5 departemen yang wajib untuk dipertahankan. Dan ternyata Dephut tidak termasuk dalam kelima daftar tersebut.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian cukup serius adalah mengapa isu pembubaran Dephut itu muncul. Pertanyaan besar itu juga disampaikan ole Ir. Ayu yang menanyakan mengapa di Fakultas Kehutanan tempat dimana ia dulu kuliah muncul isu pembubaran Dephut. “Apa tidak ada lagi yang mau masuk Dephut?” Tanyanya sambil ketawa. Tentusaja hal itu disambut cekikan oleh peserta diskusi. Pada dasarnya diskusi tersebut diadakan untuk lebih membuka mata dan pikiran mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM agar tanggap terhadap isu dunia kehutanan. Harapannya mahasiswa tidak merasa asing akan dunianya. Apalagi di tengah kondisi perkuliahan yang semakin menyibukkan mahasiswa dengan segudang praktikum tapi miskin kajian-kajian luar diktat perkuliahan. Dari pihak Walhi sendiri yang cukup intens mengkaji permasalahan-permasalahan dunia kehutanan melontarkan ungkapan cukup keras untuk segera membubarkan Dephut. Apa alasan yang mendasarinya? Tentusaja Walhi tidak sembarang dalam melontarkan isu ini. Semoga sudah ada kajian yang cukup mendalam terkait hal ini. Pada bulan Februari 2009 lalu Walhi dengan tegas menyatakan Dephut harus segera dibubarkan. Walhi menilai Dephut sudah mulai tua renta dan tidak mampu mengingat setiap kebijakan yang pernah dilahirkan. Kebijakan yang Walhi maksud adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 101/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas. Dalam Surat Keputusan tersebut secara jelas menyebutkan bahwa industri pulp dan kertas harus memenuhi kebutuhan bahan bakunya dari hutan tanaman. Jangan lagi kondisinya seperti sekarang dimana bahan baku pulp dan kertas masih mengandalkan dari hutan alam. Akibatnya, kerusakan hutan alam semakin meluas. Pengelolaan hutan yang diharapkan dapat menuju kelestarian tidak mampu untuk diterapkan. Kita melihat kembali kasus pembalakan di Riau. Provinsi yang kaya akan hutan alamnya kini tinggal hamparan padang kering dan gersang. Tidak ada lagi pohon-pohon tinggi yang mampu memberikan naungan. Dan kondisi tersebut berakibat fatal dengan munculnya berbagai dampak negatif seperti banjir dan tanah longsor. Itu semua karena ulah tangan manusia. Kita tentu juga mengingat bagaimana gemparnya media memberitakan bahwa dibalik kerusakan itu terdapat pihak-pihak yang bekerjasama dengan tersusun rapi. Semua pihak termasuk aparat pemerintahan juga termasuk di dalamnya. Kasus tersebut hanya secuil kasus yang berhasil terungkap. Itupun tidak ada penyelesaian yang sempurna. Sebagian besar hanya jalan ditempat. Jargon pemerintah untuk mengatasi perusakan hutan alam tampaknya hanya jargon kosong. Hingga mencapai batas waktu kepemimpinan kehutanan 5 tahunan yang sebentar lagi akan berakhir tampaknya belum ada penyelesaian yang tampak purna. Lalu bagaimana selanjutnya. Masalah kehutanan yang belum selesai akan disusul dengan pergantian kepemimpinan yang baru. Kalau boleh berharap kiranya pemerintahan besok di posisi puncak kehutanan republik ini tidak dipimpin oleh orang yang tidak benar-benar mengetahui soal hutan. Ramainya pemilu menjadikan jabatan kementerian layaknya kue yang dibagi rata untuk mengamankan koalisi. Jargon the right man on the right job tampaknya bukan hal yang diutamakan.
Kembali ke pembahasan apakah Dephut layak dibubarkan, kiranya harus kita tilik kembali kalau hal itu begitu merugikan. Bukan rugi karena para sarjana kehutanan akan kehilangan tempat pekerjaan, lebih dari itu ada hal besar yang harus dipikirkan. Penggabungna antar departemen berdampak cukup kuat. Pertama, Apabila Dephut disatukan dengan departemen lain, katakanlah dengan pertanian kemudian keduanya sama-sama berada di bawah Departemen Pengelolaan Sumber Daya Alam. Proses penyatuan antar depertemen bukanlah perkara yang mudah. Perlu waktu yang cukup lama untuk menyamakan administrasi dan lain sebagainya. Katakanlah program yang dikomandani Menteri yang terkait bidang kehutanan menjabat 5 tahun. Akan tetapi waktu 5 tahun itu sudah habis 3 tahun sendiri untuk merger. Itu artinya waktu kerja tinggal tersisa 2 tahun. Lalu apa yang dapat dilakukan dalam waktu 2 tahun. Tentunya program yang sudah direncanakan tidak akan mampu berjalan optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar