Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Selasa, 15 September 2009

Potret Paradoks Kemakmuran Masyarakat Desa Hutan

Dalam konteks ke-Indonesia-an, berdasarkan MDGs Report Tahun 2005 jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 mencapai 23,4 %. Pada tahun 2002 turun menjadi 18,2%, pada tahun 2003 menjadi 17,4% dan pada tahun 2004 menjadi 16,6%. Namun demikian menurut Tjondronegoro, pada tahun 2008 kalau kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 20 juta. Tetapi apabila kriterium yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD 2,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada saat ini mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa (Tjondronegoro, 2008).
Potret Hutan Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alamnya. Keberlimpahan terbentang dari ujung Sabang hingga Merauke. Tidak salah kiranya kalau dalam syair sebuah lagu lawas mengatakan, batang ditanam akan menjadi pohon. Kekayaan alam baik yang ada di darat dan di laut sungguh memukau masyarakat negeri lain. Itu pula yang membuat bangsa ini dahulu terkungkung dalam lubang penjajahan. Bahkan kini semasa sudah merdeka, ancaman itu tidak pernah surut.
Kawasan Indonesia memiliki sumber daya hutan yang sangat melimpah. Awalnya, lebih dari 64% daratan di negeri ini tertutup oleh kawasan hutan bak karpet hijau yang terbentang. Luas hutan Indonesia 130,5 juta hektar telah menjadi harta tidak bernilai bagi bangsa ini. Keberadaan hutan telah menjadi penyangga kehidupan sejak zaman dahulu. Menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi produksi, perlindungan dan konservasi. Sebagai fungsi produksi hutan menjadi sebuah kawasan yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seringkali pandangan kita akan hutan hanya terpusat pada timber management dimana produksi dititikberatkan hanya kayu hasil hutan. Padahal kita sudah diajarkan oleh masyarakat sekitar hutan yang telah lama hidup dan berinteraksi dengan hutan memanfaatkan hutan untuk mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Makanan dan obat-obatan juga menjadi kebutuhan yang digantungkan masyarakat kepada hutan. Hasil dari hutan juga telah memberikan dampak begitu luar biasa bagi negeri ini. Devisa yang didapatkan dari produksi hasil hutan sangatlah besar. Hutan juga memiliki fungsi perlingdungan. Perlingdungan untuk mahluk-mahluk hidup yang ada di sekitarnya. Manusia tidak dapat hidup tenang tanpa mendapatkan perlindungan dari hutan. Hutan melindungi dari berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hutan layaknya spon raksasa yang menyimpan air pada musim hujan dan mengeluarkan air pada musim kemarau. Mahluk hidup seperti binatang juga mendapatkan perlindungan dari hutan. Hutan sebagai tempat hidup dan tempat mencari makan. Hutan juga mempunyai fungsi konservasi dimana penyelamatan fauna dan flora ada di dalamnya. Hutan Indonesia yang terkenal sangat kaya telah memiliki keanekaragaman yang tinggi dimana berbagai fauna endemik hidup di dalamnya. Semuanya membutuhkan hutan untk tetap terjaga kehidupannya. Disamping itu hutan sebenarnya juga memililki fungsi religiusitas. Terlebih bagi masyarakat yang tiggal sekitar hutan. Masyarakat desa hutan menganggap hutan sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dan sebagai tempat berhubungan dengan Khalik sang pencipta alam raya.

Paradoks Itu Nyata
Hutan Indonesia begitu melimpah kekayaannya. Tapi mengapa kini justru banyak masyarakat yang hidup di sekitar wilayah hutan menjadi kaum yang miskin. Bukankah seharusnya mereka dapat hidup dengan berkecukupan melihat keberklimpahan sumber daya yang terdapat di dalam hutan. Di Jawa saja lebih dari lima ribu desa hutan. Belum lagi ditambah di kawasan luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang sebagian besar wilayah hutannya masih sangat luas. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan bermata pencaharian sebagai petani. Bercocok tanam dan memanfaatkan hutan untuk tempat memperoleh materi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka hidup secara berkelompok membentuk sebuah komunitas.
Mereka hidup dengan penuh kesederhanaan bahkan lebih banyak menuju kepada kemiskinan. Akibat dari kemisikinan yang menjangkiti akan menjadikan akses terhadap kesehatan dan pendidikan begitu sulit. Kemampuan finansial mereka tidak dapat menjangkau mahalnya biaya pendidikan di sekolah dan berobat di rumah sakit. Kita melihat suatu hal yang sangat paradoks. Di tengah kelimpahan sumberdaya hutan yang begitu besar justru nasib naas menimpa masyarakat di sekitar hutan. Mereka tidak mampu menikmati hasil dari hutan yang berada di sekitar mereka. Masuknya para pemodal yang mengeksploitasi hutan menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh untuk kegiatan eksploitasi dengan upah yang murah.

Saatnya Berperan Nyata
Kemiskinan merupakan suatu realita kehidupan yang harus segera dihapuskan. Tentunya kita tidak menginginkan kemiskinan seperti layaknya penjajah yang dahulu telah mengkangkangi kebebasan dan kedaulatan negeri ini. Negeri ini kini telah merdeka dan seharusnya kemiskinan tidak dapat lagi ada di negeri yang merdeka. Kita sering salah memandang sebuah kemiskinan hanya dalam soal angka-angka statistik. Apakah kemiskinan Indonesia meningkat atau berkurang tahun ini dibandingkan tahun lalu dan berapa persen pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bukanlah hal itu sebenarnya esensi dari sebuah cara pandang kita terhada kemiskinan. Akan tetapi, lebih dari itu bagaimana usaha kita secara nyata untuk turut serta mengentaskan kemiskinan. Sehingga dalam membebaskan kemiskinan bukanlah “otak-atik angka” di atas kertas belaka. Memang angka kemiskinan akan memudahkan kita untuk mengambil sikap dan tindakan, tetapi realita yanga terjadi sekarang angka statistik kemiskinan hanya dijadikan informasi dan tidak ada sebuah langkah konkret untuk menurunkan angka itu pada periode berikutnya. Terlebih lagi kini saat kampanye para calon orang nomor satu di negeri ini. Hampir semuanya mengangkat tentang kemandirian bangsa untuk membawa masyarakat Indonesia hidup dalam kesejaheraan. Akan tetapi, banyak yang menyangsikan apakan janji itu akan benar-benar menjadi sebuah program nyata atau justru sebatas jargon pepesan kosong.
Saat kita bicara mengenai kemiskinan, cobalah kita fokuskan terhadap kemiskinan saudara-saudara kita yang hidup di pinggir-pinggir huan atau yang lebih dikenal sebagai masyarakat desa hutan. Masyarakat ini sering dianggap masyarakat yang termarginalkan dan jauh dari prioritas untuk dikembangkan. Kehidupan mereka yang sangat memperihatinkan tampaknya begitu kontras dengan kelimpahan sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Lalu apakah mereka tidak ikut menikmati hasil hutan yang hingga kini masih menjadi salah satu komoditi penting bagi bangsa ini.
Kemiskinan masyarakat desa hutan memang bukan merupakan hal baru. Itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Hingga kini masih dicari sebuah akan permasalahan yang mendasari kondisi tersebut. Banyak ahli yang menyatakan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, kemiskinan terjadi karena faktor perilaku individu yang tidak produktif; kedua, kemiskinana terjadi karena struktur sosial yang mengakibatkan tetap adanya kemiskinan tersebut (Mursyid, 2009). Faktor individu ini memang sangat berpengaruh, perilaku individu yang kurang memiliki sebuah semangat tinggi untuk berusaha semaksimal mungkin tentunya akan sulit untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Semuanya seakan-akan diserahkan kepada lingkungan sedang dirinya hanya hidup dalam sebuah kemalasan. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat desa hutan kini para pemudanya banyak yang kurang tertarik untuk menekuni pekerjaan sebagai seorang petani seperti ayah dan kakek mereka. Mereka lebih mencari pekerjaan baru dan malas apabila dibebani tanggung jawab untuk mengurus lahan. Dan ini sangat kentara akibatnya, dimana tanah pertanian sekitar hutan menjadi lahan kosong tanpa pengolahan dan masyarakatnya pun hidup tetap dibawah garis kemiskinan. Kalaulah ada yang masih bersedia mengolah lahan, biasanya sangat minim dalam hal kreativitas dan inovasi pengolahan. Sebagian besar hanya mengandalkan warisan dari para orang tuanya. Terperangkap antara sebuah tradisi atau adat istiadat dengan sebuah inovasi yang sering dianggap tabu dengan munculnya hal-hal baru. Akhirnya mereka melakukan sekadarnya, dan hasilnya pun juga sekedarnya. Selain itu, faktor struktural sosial yang mengakibatkan langgengnya kemiskinan masyarakat desa hutan adalah ketidakadilan dan kurang berpihaknya lingkungan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat desa hutan. Masyarakat desa hutan sering dianggap sebagai kaum yang tertinggal, sehingga kelompok masyarakat lain tidak menaruh kepercayaan untuk mengajak mereka bersama-sama bekerja dalam sebuah aktivitas. Stigma inilah yang harus dihilangkan. Masyarakat desa hutan tidak identik dengan kaum yang bodoh dan susah diatur. Sebenarnya mereka sangat terbuka dan dapat dengan mudah menerima orang lain diluar komunitasnya asalkan memang dalam kenyataannya saling menguntungkan antara keduanya.
Pengentasan kemiskinan masyarakat desa memerlukan usaha bersama dari semua pihak. Kemiskinan tidak lagi menjadi kewajiban pemerintah semata, tetapi semua pihak termasuk kita adalah orang yang bertanggungjawab untuk mengentaskannya. Dan secara khusus bagi masyarakat bangsa ini yang telah banyak mendapatkan ilmu pengetahuan melalu jalur formal pendidikan tentunya sangat diharapkan partisipasinya dalam perjuangan suci ini. Mereka dikenal sebagai komunitas ilmuwan. Ilmuwan tidak identik dengan seorang yang hidup hanya untuk penelitian semata dan menghasilkan sebuah temuan. Lebih dari itu para ilmuwan saat ini sedang mendapatkan tantangan luar biasa untuk membuktikan apakah ilmu pengetahuan yang telah mereka dapatkan dapat menjadi sebuah solusi bagi permasalahan disekitarnya, khususnya terkait kemiskinan. Tidak pantas lagi para ilmuwan memposisikan dirinya layaknya menara gading yang menjulang tinggi tanpa sebuah kontribusi yang berarti. Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduknya yang begitu besar tidak kekurangan dalam jumlah orang pintar. Terbukti jutaan penduduk Indonesia merupakan lulusan perguruan tinggi dan tentunya ini jauh lebih berkembang dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya mereka mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang lebih daripada masyarakat lain yang barangkali hanya mampu mengenyam pendidikan hingga Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Hal yang sangat urgent adalah munculnya para ilmuwan yang juga memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar dimana mereka hidup dan berinteraksi dalam sebuah komunitas yang disebut masyarakat. Banyak para ilmuwan seolah-olah tidak mengetahui dan peduli akan apa yang terjadi di sekitarnya. Mereka hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan merasa menjadi orang yang paling berjasa bagi setiap penemuan dan penelitian yang dimunculkan. Begitu banyak sisi sebenarnya yang dapat diperankan oleh para ilmuwan kita itu. Dan dalam pengentasan kemiskinan masyarakat desa hutan tentunya peran serta mereka menjadi salah satu mata tombak yang bisa memutus mata rantai kemiskinan. Peran serta secara penuh totalitas dan tanpa mengenal kata menyerah adala modal besar bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Sudah saatnya ilmu para ilmuwan diterapkan secara tepat dan nyata bagi masyarakat. Ilmuwan dapat terjun langsung dan berinteraksi dengan masyarakat desa hutan untuk mengenal lebih jauh kondisi kehidupan mereka. Tentunya proses identifikasi yang intensif, tepat dan terarah hanya dapat dilakukan oleh para ilmuwan yang secara pendidikan telah mengetahui metode apa yang paling tepat untuk diterapkan. Melihat dan hidup langsung dalam komunitas masyarakat desa hutan akan memberikan jawaban yang nyata terhadap akar permasalahan kemiskinan dan seberapa jauh mereka berupaya untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Kita mencoba menilik lebih jauh terkait seberapa besar peran yang dapat dilakukan oleh para ilmuwan negeri ini untuk turut serta mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Para ilmuwan saat ini tersebar dalam tiga sektor kehidupan, yakni: sektor publik, sektor privat dan sektor ketiga. Mari kita ulas satu persatu.
Peran Ilmuwan di Sektor Publik
Sektor publik merupakan sektor yang cukup penting dalam usaha pengentasan kemiskinan masyarakat desa hutan. Sektor ini sangat strategis dimana berbagai kebijakan lahir dan diterapkan menjadi sebuah peraturan dan hukum yang mengikat. Motifnya adalah non profit yang lebih ditujukan untuk membangun persamaan dan mengelola kebijakan. Pemerintah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif termasuk dalam sektor ini. Apabila kita mengacu pada konstitusi negara kita, tentunya tidak salah apabila pemerintah adalah pihak pertama yang dimintai pertanggungjawabannya dalam hal kemiskinan yang menjerat leher masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat desa hutan. Sudah cukup jelas dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 yang mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Berpijak dari hukum tersebut sudah jelaslah negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memelihara fakir miskin. Kemiskinan, khususnya masyarakat desa hutan haruslah dijadikan prioritas pemerintah untuk segera mentuntaskannya. Pemerintah berdasarkan Undang-Undang ini dapat membuat pokok-pokok penanganan kemiskinan. Selanjutnya, dapat ditindaklanjuti dengan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang secara khusus menanggulangi masalah kemiskinan. Setelah kedua hal tersebut kita miliki, maka departemen terkait haruslah dilibatkan. Kemiskinan masyarakat desa hutan perlu kerjasama penangan dengan Deparetemen Kehutanan. Departemen Kehutanan harus bisa mensinergiskan langkah dalam pengelolaan hutan yang lestari dimana kelestarian hutan tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya dapat diwujudkan. Tentunya Departemen Kehutanan sangat tepat ketika menerapkan kebijakan dimana pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan begitu pengentasan kemiskinan secara tidak langsung akan mulai digerus. Selanjutnya rancangan penanganan kemiskinan masyarakat desa hutan dapat diterapkan di tingkat daerah dan provinsi seluruh Indonesia. Buatlah pedoman baku yang dapat dilakasanakan oleh semua daerah di pelosok negeri ini. Harus ada kejelasan status masyarakat desa hutan, dimana sejak awalnya mereka sudah hidup dan berinteraksi dengan hutan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru merugikan mereka. Hindari penutupan akses secara sepihak oleh pemerintah terhadap hutan. Berdayakanlah masyarakat untuk bersama-sama menggarap hutan. Karena dengan pemberdayaan terhadap mereka akan dapat membantu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh, penerapan sistem agroforestry. Agroforestry adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan. Tujuan awal dari penerapan agroforestry ini adalah untuk efisiensi lahan, dimana satu lahan dapat menghasilkan barbagai produk bernilai ekonomi. Pemerintah lewat Departemen Kehutanan dapat melaksanakan program penanaman tanaman pokok berupa tanaman kayu, sedangkan masyarakat sekitar dapat diberdayakan tenaganya untuk ikut menggarap lahan tersebut dengan menjadi pesanggem. Di sini masyarakat sekitar dapat menanam tanaman pertanian dan memanennya sebagai upah dari memelihara tanaman pokok pemerintah. Sesungguhnya konsep ini sangatlah bagus dimana kedua belah pihak saling diuntungkan. Akan tetapi, mengapa konsep ini masih juga banyak mengalami kegagalan di banyak tempat? Secara umum kegagalan ini dikarenakan tidak ada keseriusan dari kedua belah pihak dalam menerapkan agroforestry itu sendiri sebagai milik bersama. Masyarakat sering mengeluhkan gagal panen tanaman pertanian dalam program agroforestry. Memang gagal panen dapat diakibatkan oleh berbagai hal, bisa ekologis atau mismanajemen, tetapi bagi para petani itu sangat mengecewakan. Lebih banyak kegagalan panen terjadi karena mismanajemen. Penerapan manajemen yang tidak tepat dalam penyusunan komposisi tanaman di lahan garapan menjadi salah satu dari faktor kegagalan tersebut. Dalam hal ini pemerintah mempunyai banyak ahli atau ilmuwan yang konsen terhadap bidang agroforestry. Disinilah peran penting para ilmuwan untuk menemukan faktor apa yang paling dominan dalam kegagalan panen untuk selanjutnya dicari penanganannya. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, khususnya di Departmen Kehutanan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan untuk turun tangan secara langsung. Jangan sampai hasil penelitian hanya akan menjadi sebuah produk temuan tanpa aplikasi secar riil di lapangan. Selain itu para ilmuwan juga dapat meneliti lebih detail terkait akan permasalahan dari kemiskinan yang mendera masyarakat desa hutan. Apa penyebab utamanya dan tentunya akan dapat disusun rencana atau rumusan program pemerintah yang dapat menangani permasalahan tersebut. Dengan ini kita berharap pertanian para pesanggem (petani hutan) dapat menjadi salah satu sumber utama dari perekonomian keluarga mereka. Dan sebagai hasil akhir yang menggembirakan adalah agroforestry menjadi solusi bagi pengentasan masyarakat desa hutan.

Peran Ilmuwan di Sektor Privat
Sektor privat merupakan sektor yang berhubungan dengan ekonomi dan koperasi. Pengaruh sektor ini sangat kuat, terutama terhadap sektor politik dan perumusan kebijakan. Berbeda dengan sektor publik, sektor privat orientasinya adala profit. Di sektor ini didominasi oleh BUMN, swasta, dan koperasi. Sektor privat sebenarnya menjadi salah satu tumpuan harapan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Tentunya tidak semua beban berat ini harus dijalankan pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Perlu peran serta yang besar dari para pemegang usaha khususnya di dunia kehutanan. Pengelolaan hutan produksi dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang pelaku utamanya adalah para pengusaha haruslah memperhatikan masyarakat di sekitarnya. Para ilmuwan yang bekerja di dalamnya harapannya tidak hanya berorientasi pada masalah profit semata. Ada sisi lain yakni masyarakat sekitar hutan yang juga harus digarap. Mengapa? Karena masyarakat dan perusahaan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia yang masih padat karya dengan jumlah penduduk sangat besar kehidupan sebuah perusahaan kehutanan akan sangat tergantung dengan para pekerja. Para pekerja ini biasanya berasal dari masyarakat sekitar hutan dimana perusahaan tersebut beraktivitas. Akan sangat kontras ketika para pengusaha hutan meraup keuntungan yang berlimpah sedangkan masyarakat desa hutan hidup di bawah garis kemiskinan. Lahirnya Undang-Undang Perseroan Terbatas, terutama pasal 74 yang mengatur kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk perusahaan atau lebih dikenal dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Memang undang-undang tersebut hingga kini masih menuai pro kontra, tetapi kalau kita lihat dari sisi konten yang ada di dalamnya sangat positif untuk dimanfaatkan. Perusahaan kehutanan selain hanya melaksanakan kegiatan produksinya, tetapi juga mempunyai kewajiban sosial untuk turut serta mengatasi kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Disisi ini para ilmuwanjuga mampu memberikan andil yang cukup besar. Program CSR harapannya tidak salah diterapkan. Untuk itu diperlukan sebuah proses yang tepat mulai dari penemuan akar permasalahan dan program CSR apa yang cocok diterapkan di daerah tersebut. Programa ini apabila diarahkan secara tepat akan meberikan dampak positif bagi masyarakat desa hutan. Dan dari sebagian keuntungan perusahaan digunakan untuk membangun berbagai fasilitas baik pendidikan, kesehatan maupun fasilitas infrastruktur lainnya untuk kepentingan masyarakat. Dan nantinya perusahaan juga akan sangat diuntungkan dimana para masyarakat desa hutan yang biasa menjadi pekerja perusahaan akan hidup dengan sehat sehingga produktifitas kerjanya dapat meningkat. Terlebih lagi akan menumbuhkan kondisi yang nyaman antara pihak perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Tidak ada banyak konflik yang muncul antara perusahaan dengan masyarakat desa hutan.
Sektor privat yang lain adalah koperasi. Koperasi saat ini sudah mulai menghilang dari hiruk pikuk perekonomian Indonesia. Padahal dahulu bagi Mohammad Hatta sebagai sang pendirinya mempunyai cita-cita besar untuk menjadikan koperasi sebagai saka guru perekonomian Indonesia. Koperasi ini dapat dihidupkan kembali di masyarakat desa hutan. Asas kekeluargaan yang diusung tanpa perekonomian yang begitu mencekik akan memberikan sebuah semangat bagi masyarat untuk bangkat. Koperasi dapat menjadi wadah bagi para petani untuk menampung hasil panennya untuk kemudian dijual secara bersama-sama ke pihak pembeli. Dan tentunya ini akan sangat menguntungkan bagi petani karena tidak kesulitan dalam menjual hasil panennya. Peran ilmuwan adalah mengembangkan koperasi menjadi benar-benar saka guru perekonomian masyarakat desa hutan. Pemberian pinjaman berbunga rendah juga menjadi salah satu alternatif yang dapat diterapkan. Petani akan memiliki modal awal untuk berusaha mandiri pengembangkan usaha pertanian atau peternakannya.

Peran Ilmuwan di Sektor Ketiga
Sektor ini diperankan oleh Lembaga Nirlaba, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluar kedua sektor di atas. Secara khusus sektor ini mengoptimalkan potensi masyarakat dan berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Dan itulah sebenarnya keberadaan LSM. Akan tetapi, kita melihat hal yang banyak terputar balikkan. Kini LSM sudah banyak yang mengingkari tujuan awalnya dan justru banyak bergerak dalam pelaskanaan proyek untuk mendapatkan banyak dana. Tidak salah memang, karena memang dari situlah LSM mendapatkan dana. Hanya saja ada hal besar yang bisa dilakukan oleh LSM, yakni kesejahteraan masyarakat. LSM di dunia kehutanan saat ini jumlahnya sangat banyak. Kini seharusnya ranah penelitian yang dilaksanakan LSM tidak hanya bergerak terhadap hutan semata, tetapi juga masyarakat di sekitar hutan. Para ilmuwan yang kini tergabung dalam LSM atau lembaga nirlaba lainnya mempunyai peran penting dalam hal ini. Bagaiman mulai banyak melakukan usaha-usaha untuk mensejahterakan masyarakat secara langsung. Dengan ilmu pengetahuan akan memberikan peluang cukup besar masyarakat desa hutan memperoleh pengembangan wawasan dan akhirnya muncullah usaha untuk bisa hidup mandiri.
Pihak lain yang juga masuk dalam sektor ini adalah para akademisi. Peran sertanya sangat diperlukan untuk memberikan banyak dukungan terhadap masyarakat desa hutan dalam mengembangkan kemandiriannya untuk menuju masayarakat yang adil dan sejahtera. Akademisi memberikan solusi apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat desa hutan untuk dapat memanfaatkan sumber daya hutan sebagai pangkal dari kemakmuran.

Penutup
Hutan yang sangat kaya akan sumber daya alamnya seharusnya menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan masyarakat desa hutan. Sangat ironis ketika di sekitar hutan yang kaya hidup masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Potret paradoks kemakmuran masyarakat desa hutan menjadi sebuah gambaran sekaligus solusi agar kemiskinan tidak lagi menjerat leher masyarakat desa hutan.

Bahan Bacaan
Tjondronegoro, 2008a. Mencari Ilmu Di Tiga Jaman Tiga Benua. Sains Press. Bogor.
____________, 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. AKATIGA. Bandung.
Mursyid Ali, 2009. Pengentasan Kemiskinan Umat. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar