Salam BUMI, Pasti LESTARI

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
(Asy Syu'araa' :7)

Selasa, 15 September 2009

“Pemimpin Baru untuk Dunia Kehutanan yang Lebih Baik”

Sabtu, 25 April 2009 suasana auditorium Fakultas Kehutanan UGM begitu ramai. Para peserta Seminar Nasional Hari Bumi memenuhi ruang, bahkan banyak diantara mereka yang harus rela menunggu karena kapasitas kursi yang disediakan tidak mencukupi. Hari bumi selalu menjadi hari yang fenomenal untuk dirayakan. Pada tahun ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM mengadakan Seminar Nasional yang bertema “Pemimpin Baru untuk Dunia Kehutanan yang Lebih Baik”. Tema tersebut sengaja diangkat untuk menumbuhkan kepedulian terhadap sektor kehutanan, lebih khusus lagi bagi para calon pemimpin negeri ini kedepannya. Kerinduan akan lahirnya sosok pemimpin yang berwawasan lingkungan tentusaja menjadi idaman bangsa ini untuk menuju hutan Indonesia yang lestari.
Seminar tersebut menghadirkan tokoh-tokoh kehutanan Indonesia sebagai pembicaranya. Tidak salah kiranya panitia kemudian langsung mempanelkan keenam pembicara dalam satu meja. Sebut saja Ir. Purwadi Soeprihanto, M.E (Presiden Direktur HTI PT.Finantara Intiga), Prof.Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc (Ketua Persaki), Ir. Agung Nugraha, MM (Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia), Dr.Ir.Tachrir Fathoni, M.Sc (Kepala Badan Litbang Dephut), Ir. Nana Suparna (Ketua Presidium DKN), Ir. Arnanto Nur Prabowo (Staf Ahli Komisi IV DPR RI). Keenam pembicara tersebut mengawali diskusi dengan memaparkan kondisi kehutanan belakangan ini, khususnya berbagai permasalahan di dunia kehutanan. Setidaknya ada 4 hal yang menjadi sorotan utama. Pertama, kurangnya optimalisasi peran Departemen Kehutanan. Hingga kini pemerintah masih belum berhasil mendistribusikan pemanfaatan SDH (Sumber Daya Hutan) secara merata. Berpuluh-puluh tahun SDH hanya dipegang oleh beberapa orang, sedangkan rakyat kecil sebagai pemilik sahnya tidak pernah mendapatkan haknya. Lambatnya restrukturisasi industri kehutanan dan eskalasi konflik pemanfaatan SDH (perambahan, illegal logging, dan pemekaran wilayah) juga menjadi bukti belum optimalnya peran kerja Departemen Kehutanan. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan sektor kehutanan semakin menurun (-0,8 – 1,7/tahun dari 2005 – 2008). Selain itu, penurunan luas kawasan dan penurunan kinerja industri kehutanan (turunnya utilisasi hingga penutupan operasional) juga menjadi akibat dari kurangnya peran pemerintah. Seharusnya diciptakan stabilitas pemerintahan yang kuat dan efektif (berjalannya check dan balance). Dan juga penguatan perekonomian sektor kehutanan melalui stimulus fiskal, kredit perbankan, subsidi sektor hulu serta negoisasi hambatan non tarif.
Kedua, lemahnya SDM yang mengelola hutan Indonesia. Masih banyak SDM yang belum profesional dalam melaksanakan tugasnya. Terbukti makin banyaknya rimbawan salon yang hanya bersedia kerja di gedung Manggala atau Dinas Kehutanan yang terletak di kota-kota besar. Sedikit sekali yang berkenan terjun langsung ke lapangan. Dibutuhkan sosok rimbawan yang mempunyai profesionalitas dan moralitas tinggi. Kita tentu tidak menginginkan sindiran semakin banyak sarjana kehutanan, hutan Indonesia semakin rusak. Dibutuhkan SDM yang benar-benar terlatih dan memiliki kecakapan softskill yang memadai guna meningkatkan daya saing. Departeman Kehutanan harus melanjutkan peningkatan profesionalisme rimbawan baik dengan training-training maupun pelatihan serta adanya perencanaan yang terintegrasi upaya peningkatan SDM. Titik penekanan yang dapat kita cermati adalah ketersediaan SDM yang bermoral. Berapapun jumlah SDM yang memiliki softskill tinggi, tetapi sikap moralnya buruk tentusaja dapat dipastikan hutan kita akan mengalami kerusakan yang lebih parah.
Ketiga, rendahnya kiprah rimbawan dalam mengontrol kebijakan. Hal ini bisa dimaknai dengan sedikitnya rimbawan yang bersedia terjun ke jalur politik. Kita ketahui bersama kebijakan-kebijakan di dunia kehutanan lahir dari tarik ulur kepentingan politik. Dengan tidak adanya rimbawan yang berada di parlemen misalnya, tentunya akan sangat sulit dalam mengontrol kebijakan yang menentukan hidup mati kehutanan. Hasil sementara pemilu legislatif kemarin hanya mampu menempatkan 3 rimbawan yang duduk di kursi DPR RI. Lalu, bagaimana nasib kehutanan masa depan? Kiranya sebagai seorang rimbawan kita harus membuka lebar-lebar pintu untuk terjun di dunia politik. Apapun kendaraan politiknya, asalkan kita niatkan untuk berjuang demi kelestarian hutan pastilah kita dapatkan yang terbaik.
Keempat, kurangnya pelibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Secara konstitusional SDH dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat lintas generasi. Sudah sejak zaman dahulu hutan telah dijadikan tumpuan hidup bagi masyarakat. Namun kini, hutan telah jauh dari fungsi aslinya. Kawasan hutan dikonversi menjadi perumahan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Sehingga paradoks yang muncul adalah hutan tidak lestari, masyarakat miskin. Oleh karena itu, harus ada penguatan civil society sektor kehutanan yang berupa pengurangan peran regulatory dan supervisory pemerintah, peningkatan profesionalisme masyarakat, dan distribusi pemanfaatan SDH dengan percepatan unit-unit usaha kehutanan berbasis masyarakat.
Tuntutan untuk hadirnya pemimpin baru agar dunia kehutanan menjadi lebih baik sudah tidak dapat ditawar lagi. Pemimpin yang akan mengisi kursi Manggala I haruslah sosok pemimpin yang benar-benar forester sejati. Pemimpin yang visioner, disiplin, adil dan peduli. Pemimpin yang mampu memaknai jabatan sebagai sebuah amanah untuk mewujudkan kelestarian bukan dalam rangka membangun image. Tentunya, dilengkapi dengan sikap yang kuat untuk membangun good governance dan memiliki jaringan atau networking yang luas untuk mewujudkan visinya. Bukankan sudah jelas, sesuatu yang dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar